Bersama empat panelis lainya yang berasal dari Cina, Indonesia, United Kingdom dan Singapore dirinya menyampaikan presentasinya pada sesi panel “Opportunities and Challenges in South China Sea Cooperation”. Topic yang disampaikanya adalah “The Convergence of Approaches Towards Cooperation in the South China Sea: An Indonesian Perspective”. Dirinya menyampaikan bahwa banyak sudut pandang dan persepsi berbeda-beda yang dipakai oleh negara-negara yang terlibat dalam sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan. Beberapa studi dan riset juga seolah menjadi kompetisi untuk saling melakukan klaim berdasarkan basis teori dan hukum, yang jika dilihat kesemuanya memiliki legitimasi. Oleh karena itu perlu konvergensi beragam pendekatan tersebut namun harus dengan menitikberatkan cara damai sebagai tujuan dan kepentingan bersama.
Menurutnya, langkah yang paling memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa di Laut Cina selatan secara damai adalah dengan menciptakan equilibrium. Harus ada keseimbangan kepentingan bagi negara-negara yang terlibat, dan jalan tengah yang paling ideal untuk ditempuh adalah kerjasama. Kerjasama dapat menyasar berbagai sektor yang menjadi penyebab tumpang tindih klaim selama ini dengan syarat tidak bersifat hegemony dan a “fait accompli”.
Pada prinsipnya menyelesaikan sengketa harus tetap berpedoman pada Pasal 2 (3) Piagam PBB. Berdasarkan nilai kebangsaanya, bunyi dalam pembukaan konstitusi, dan beberapa kasus yang menjadi preseden, Indonesia adalah salah satu contoh yang menjadi pembelajaran dalam menyelesaikan persoalan konflik perbatasan dengan komitmen damai. Jika semua negara yang terlibat berkomitmen menjadikan damai sebagai tujuan, komitmen dan kepentingan bersama, maka untuk menjadikan Laut Cina Selatan sebagai laut kerjasama bukanlah hal yang sulit tuturnya .