Dr. Ahmad Ahsin Thohari, S.H., M.H. (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta

Jagat hukum dan politik kita menjelang Pemilu 2024 diguncang oleh terbitnya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/ 2022/PN.Jkt.Pst yang sesat- menyesatkan, irasional, dan menghina akal sehat.

Amar dalam pokok perkara putusan itu menyatakan menerima gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan dinyatakan sebagai parpol yang dirugikan dalam verifikasi administrasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Oleh karena itu, KPU dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dan dihukum membayar ganti rugi materiil Rp 500 juta.

Tak hanya itu, KPU juga dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan (2/3/ 2023) dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Bahkan, putusan perkara ini bisa dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta meskipun masih tersedia upaya hukum (uitvoerbaar bij voorraad).

Dua kesalahan

Setidaknya terdapat dua kesalahan besar. Pertama, hakim telah mengabaikan kerangka penegakan hukum pemilu yang terdiri atas pelanggaran dan sengketa. Sebagaimana diatur dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu, pelanggaran dibagi jadi tiga jenis: (1) administratif (penyelesaiannya menjadi kewenangan Bawaslu dan MA); (2) kode etik (kewenangan DKPP); dan (3) pidana (kewenangan Bawaslu melalui Sentra Gakkumdu dan pengadilan negeri).

Adapun sengketa dibagi jadi dua jenis: (1) proses pemilu (kewenangan Bawaslu dan PTUN); dan (2) hasil pemilu (kewenangan MK). Dengan demikian, tak satu pun kewenangan penegakan hukum pemilu diberikan kepada pengadilan negeri (PN) dengan skema hukum perdata.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat KPU tak melaksanakan perintah dalam Putusan Bawaslu No 002/PS.REG/Bawaslu/ X/2022, tanggal 4 November 2022, yang salah satunya memerintahkan KPU melakukan verifikasi administrasi perbaikan terhadap dokumen persyaratan perbaikan yang diajukan Prima, sehingga terbukti bahwa KPU melakukan PMH (onrechtmatige daad) yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

Ini jelas merupakan konklusi melompat yang dibuat majelis hakim sebelum memahami seluruh fakta dan kerangka hukum secara komprehensif. Padahal, sekiranya benar bahwa tindakan KPU yang tidak melaksanakan perintah Bawaslu itu terjadi, ia tidak bisa dikonstruksi secara yuridis sebagai PMH karena tindakan pasif KPU yang tidak melaksanakan perintah itu berada dalam ranah wewenang publik.

Berita Terkait :  Tolak Wacana Kampanye di Kampus, Akademisi: Harus Independen!

Maka, yang tepat adalah mengonstruksinya menjadi perbuatan melanggar hukum oleh penguasa atau PMHP (onrechtmatige overheidsdaad). Namun, pengadilan yang memiliki kompetensi mengadili perkara PMHP adalah PTUN dalam skema hukum publik, bukan PN dengan skema hukum perdata.

Ilustrasi HERYUNANTO

Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No 2/2019 tentang Pedoman Penyelesaian sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).

Gugatan PMH dalam skema hukum perdata tak bisa ditujukan kepada badan dan/atau pejabat pemerintah, termasuk KPU, yang sedang menjalankan wewenang publik. Gugatan bisa ditujukan kepada badan dan/atau pejabat pemerintah hanya saat menjalankan tindakan hukum perdata (privaatrechtelijke rechtshandelingen), seperti perjanjian jual beli, sewa, dan sewa beli.

Kedua, majelis hakim telah mencampuradukkan konsep pembidangan hukum publik dan hukum privat yang dikenal dalam ilmu hukum sejak dikenalkan pertama kali oleh yuris Romawi, Ulpianus. Majelis hakim telah mengonstruksi bahwa perkara ini merupakan perkara perdata dalam bidang perbuatan melawan hukum.

Oleh karena itu, semestinya sanksi yang bisa dikenakan paling jauh adalah sanksi perdata pula dalam bentuk penggantian kerugian dan hanya mengikat para pihak beperkara (inter partes). Menghukum KPU membayar ganti rugi materiil Rp 500 juta memang masih berada dalam koridor sanksi perdata yang berlaku inter partes.

Namun, menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari bukanlah sanksi perdata dan berlaku umum untuk semua pihak selain berlaku pula bagi para pihak beperkara (erga omnes).

Jadi, KPU harus memulai tahapan pemilu sejak putusan diucapkan, 2 Maret 2023, sampai dengan kira-kira 9 Juli 2025. Padahal, masa jabatan MPR, DPR, dan DPD akan berakhir sebelum 1 Oktober 2024. Adapun masa jabatan presiden dan wakil presiden akan berakhir sebelum 20 Oktober 2024.

Berita Terkait :  Akademisi UPN Veteran Harap RUU KUH Perdata Disahkan Tahun 2022

Oleh karena itu, semestinya sanksi yang bisa dikenakan paling jauh adalah sanksi perdata pula dalam bentuk penggantian kerugian dan hanya mengikat para pihak beperkara (inter partes).

ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Suasana konferensi pers Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terkait isu penundaan Pemilu di kantor DPP Prima, Jakarta, Jumat (3/3/2023).

Artinya, jika amar putusan serampangan itu diikuti, maka ketika masa jabatan MPR, DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 berakhir, kita belum memiliki penggantinya. Dengan demikian akan terjadi krisis ketatanegaraan akibat terjadi kekosongan kekuasaan (power vacuum).

Karena tidak ada kekuasaan umum konstitusional yang mengatasi semua pihak, yang akan terjadi adalah homo homini lupus est (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium cotra omnes (perang semua melawan semua) seperti digambarkan Thomas Hobbes dalam Leviathan.

Tangan-tangan tak tampak

Kita masih belum tahu betul apakah terbitnya putusan absurd ini murni disebabkan perilaku tidak profesional (unprofessional conduct) hakim atau disebabkan faktor eksternal.

Jika persoalan sesungguhnya terletak pada perilaku tidak profesional hakim, karena ketidaktahuannya atas hukum pemilu, maka kerusakan yang ditimbulkan putusan itu akan segera dapat diperbaiki. Dengan asumsi bahwa hakim-hakim di tingkat banding dan kasasi berperilaku profesional, ujung ajal konsep negara hukum yang demokratis (demokratische rechtsstaat) yang kita anut selama ini dapat dijauhi.

Akan tetapi, jika persoalan sesungguhnya terletak pada tangan-tangan tak tampak berkekuatan besar yang mengintervensi hakim dan pada saat yang sama perilaku profesional hakim tak memiliki energi yang cukup untuk melawan, tampaknya kita berada dalam situasi serius. Sebab, hakim di tingkat banding dan kasasi justru akan menguatkan putusan itu.

Amat mengkhawatirkan jika yang terjadi adalah pengadilan telah diperalat untuk mengegolkan agenda memperpanjang durasi kekuasaan dan Prima dijadikan semacam proksi dari tangan-tangan tak tampak itu. Pada titik ini, pengadilan telah bermetamorfosis dari benteng terakhir keadilan menjadi ”badut” keadilan yang tak lucu.

Penulis,
Dr. Ahmad Ahsin Thohari, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta

Sumber: harian Kompas, edisi Selasa, 14 Maret 2023.

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?