Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta
Dr. Ahmad Ahsin Thohari, S.H., M.H. (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta)

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 telah menegaskan keharusan masa tunggu 5 tahun bagi mantan narapidana (napi) yang ingin menjadi anggota DPR, DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota melalui partisipasi dalam pemilihan umum legislatif (pileg).

Keberadaan putusan MK ini tentu saja sangat penting guna menutup celah hukum yang dapat dimanfaatkan politisi hitam mantan napi untuk sintas dalam gelanggang politik. Tanpa putusan ini, mantan napi dapat langsung mengadu peruntungan dalam kontestasi pileg setelah menghirup udara bebas.

Seperti diketahui, Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mensyaratkan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia mantan terpidana.

Akan tetapi, pasal tersebut tidak mensyaratkan masa tunggu bagi mantan napi yang ingin mengadu peruntungan meraih jabatan legislatif. Padahal, bagi mantan napi bermodal besar ditambah sedikit jejaring politik, bukan hal sulit mendapatkan kepercayaan partai politik yang acap kali hanya mementingkan aspek finansial belaka ketimbang rekam jejak integritas seseorang.

Praktik semacam ini memiliki daya destruksi yang lebih dahsyat terhadap demokrasi manakala calon tersebut adalah mantan napi korupsi dengan sumber dana melimpah yang membutuhkan proteksi politik dan bersenyawa dengan partai politik tunamoral yang memperdagangkan pencalonan (candidacy buying).

Sesungguhnya persyaratan secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia mantan terpidana itu juga diberlakukan bagi calon gubernur-wakil gubernur, calon bupati-wakil bupati, dan calon wali kota-wakil wali kota seperti diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Hanya saja, ketentuan ini telah ditafsirkan oleh MK melalui Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019. Menurut MK, ketentuan ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat jika tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan napi selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Sungguh tidak adil sekiranya mantan napi yang berhasrat menjadi calon kepala daerah dibebani syarat tambahan berupa keharusan masa tunggu 5 tahun, sementara mantan napi yang berhasrat menjadi calon anggota legislatif bebas dari beban syarat tambahan ini. Padahal, baik kepala daerah maupun anggota legislatif merupakan rumpun jabatan yang pengisiannya melalui pemilihan (elected official).

Masa tunggu 5 tahun adalah waktu yang dipandang cukup oleh MK agar mantan napi melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya sebelum bertarung dalam kancah elektoral. Selain itu, keharusan masa tunggu 5 tahun ini juga tidak terlepas dari semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas.

Bakal calon anggota DPD

Sayangnya, Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 ini tidak menyebutkan apakah syarat masa tunggu mantan napi ini juga berlaku untuk bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Padahal, sudah dapat diduga pertanyaan ini akan muncul dan membutuhkan kepastian hukum. Sehingga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merasa perlu untuk mengonsultasikannya kepada DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang.

Pasal 258 ayat (2) huruf c UU Pemilu menyatakan bahwa kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD salah satunya dibuktikan dengan surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana. Pasal ini diberi penjelasan bahwa persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya terhitung 5 tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official).

Artinya, masa tunggu 5 tahun bagi mantan napi yang berhasrat menjadi bakal calon anggota DPD menggugurkan persyaratan pembuktian dengan surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana.

Dengan menggunakan metode konstruksi hukum argumentum per analogiam (argumen dengan analogi) dapat ditemukan bahwa Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 memang konteksnya hanya untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota. Akan tetapi, mengingat anggota DPD juga merupakan elected official, dapat dipastikan bahwa masa tunggu 5 tahun juga harus diberlakukan kepada bakal calon anggota DPD.

Akan mencederai akal sehat publik jika bakal calon anggota DPD kebal dari persyaratan masa tunggu 5 tahun. Tentunya untuk menambah kekuatan mengikat secara yuridis diperlukan regulasi yang lebih teknis berupa revisi terhadap peraturan KPU yang mengatur pencalonan bila memasukkan ketentuan tersebut ke dalam undang-undang atau perppu bukan pilihan. Seperti diketahui, Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Pemilu yang baru diterbitkan beberapa waktu lalu tidak mengatur keharusan masa tunggu 5 tahun bagi mantan napi yang ingin menjadi anggota DPD.

Dengan putusan MK ini, dua putusan Mahkamah Agung (MA) terdahulu yang membolehkan mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif menjadi tidak relevan keberadaannya dan harus disampingkan seturut asas lex superior derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah). Putusan MK menguji undang-undang yang hierarkinya lebih tinggi, sedangkan putusan MA menguji peraturan KPU yang hierarkinya lebih rendah.

Seperti diketahui, Putusan MA Nomor 30P/HUM/2018 dan Putusan MA Nomor 46P/HUM/2018 membatalkan larangan bagi mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 dan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018.

Salah satu hal yang perlu diantisipasi KPU adalah efektivitas implementasi syarat masa tunggu 5 tahun ini. Hal ini bisa menjadi pekerjaan menantang bagi KPU mengingat harus berkoordinasi secara intensif dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk memperoleh data mantan napi yang belum tentu andal dan Mahkamah Agung untuk memperoleh putusan resmi yang berkaitan dengan mantan napi.

Penulis,
Dr. Ahmad Ahsin Thohari, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta

Sumber: harian Koran Sindo, edisi Sabtu, 31 Desember 2022.

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?