Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta
M. Rizki Yudha Prawira, S.H., M.H. (Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta)

Kejelasan mengenai pengakuan dan perlindungan hukum kepada pers mahasiswa di Indonesia seakan menghadapi kebuntuan. Hingga saat ini belum ada peraturan hukum tertulis baik pada tingkat undang – undang maupun peraturan di bawahnya yang mengatur secara spesifik mengenai pengakuan dan perlindungan hukum kepada pers mahasiswa. Pers mahasiswa Indonesia kerap kali terjegal dengan berbagai permasalahan, mulai dari tindak kekerasan hingga upaya pembredelan yang sedihnya datang dari kampusnya sendiri. Peliknya situasi ini seakan berbanding terbalik dengan peran pers mahasiswa yang cukup signifikan dalam mengangkat isu – isu nasional maupun internal kampusnya masing – masing.

Jika diperhatikan, pers mahasiswa sendiri sebenarnya juga melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dilakukan oleh pers nasional. Undang – Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) menegaskan bahwa salah satu peran pers nasional adalah kontrol sosial. Terdapat banyak sekali aktivitas pers mahasiswa yang mencoba mengangkat isu penting yang terjadi di kampus dan sekitarnya sebagai upayanya melakukan kontrol sosial.

Pada tahun 2022 lalu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon mengeluarkan laporan khusus terkait dugaan kekerasan seksual dimana melibatkan 32 orang narasumber yang mengaku sebagai korban. Masih di tahun yang sama, LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memuat sebuah tulisan mengenai dugaan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu oknum mahasiswa senior kepada mahasiswa junior. Upaya untuk melakukan pemberitaan investigasi tersebut pada dasarnya serupa dengan kerja- kerja jurnalistik sebagaimana dilaksanakan pers nasional, yaitu dalam rangka melakukan kontrol sosial.

Selanjutnya, upaya pers mahasiswa dalam melakukan kerja – kerja jurnalistik telah banyak yang mengacu kepada kode etik jurnalistik. Salah satu hal yang mendefinisikan sebuah tulisan atau pemberitaan dikualifikasikan sebagai sebuah produk jurnalistik adalah apakah keseluruhan proses hingga dimuatnya berita tersebut telah mengacu kepada Surat Keputusan Dewan Pers No: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik. Ketika sebuah pemberitaan dari pers mahasiswa bersifat independen, akurat, informasinya didapat dengan cara – cara profesional, berimbang, dan tidak hasil dari suap, sudah seharusnya dianggap produk jurnalistik sehingga dapat diberlakukan perlindungan kepadanya. Bahkan pemberitaan yang dilakukan oleh LPM Lintas IAIN Ambon terkait laporan dugaan kekerasan seksual yang melibatkan mahasiswa di kampusnya sudah dinyatakan telah sesuai dengan kode etik jurnalistik oleh Dewan Pers.

Kesamaan lain antara pers mahasiswa dengan pers nasional juga terletak pada permasalahan yang kerap dihadapi ketika mengerjakan kerja – kerja jurnalistik. Berdasarkan data hasil pemantauan sebagaimana dirilis oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional, pada tahun 2017 hingga 2019 terdapat setidaknya 58 jenis dari 33 kasus represi ditujukan kepada pers mahasiswa. Bentuk serangan represi paling banyak adalah intimidasi yaitu 20 kasus, diikuti dengan pemukulan sebanyak 8 kasus bahkan terdapat 4 kasus penculikan. Masih pada sumber yang sama, untuk periode tahun 2020 hingga 2021 jumlah kasus represi kepada pers mahasiswa mengalami peningkatan yaitu 185 kasus. Bentuk kekerasan dari jumlah angka tersebut diketahui diantaranya adalah pencabutan berita sebanyak 24 kasus, lalu diketahui bentuk serangan berupa pemukulan oleh pihak bukan kampus sebanyak 23 kasus.

Bentuk – bentuk serangan yang dihadapi pers mahasiswa tersebut jika dilihat dari polanya sebenarnya sangatlah serupa dengan pers nasional. Berdasarkan data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada tahun 2023, serangan yang dialami Jurnalis terdapat 85 kasus. Bentuk paling banyak adalah kekerasan fisik yaitu sebanyak 18 kasus, diikuti dengan serangan digital sebanyak 14 kasus, 13 kasus terror dan initimiasi dan 13 kasus ancaman.

Peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga” sepertinya benar – benar menggambarkan situasi kerentanan pers mahasiswa. Di satu sisi pers mahasiswa rentan mengalami berbagai tindakan represif, namun di lain sisi tidak ada ketentuan hukum yang benar – benar bisa melindunginya. Diantara banyaknya kemiripan soal menghadapi tantangan, pers nasional memiliki berbagai ketentuan perlindungan untuk memastikan kerja – kerja jurnalistik tidak mudah terganggu.

Ketentuan perlindungan dalam UU Pers hanya ditujukan secara spesifik kepada pers nasional. Adapun definisi dari Pasal 1 ayat (6) UU Pers mendefinisikan pers nasional sebagai entitas yang diselenggarakan oleh perusahaan pers. Artinya, legalitas pers mahasiswa yang berada di bawah universitas membuatnya sulit untuk memiliki badan hukum sendiri atau berbentuk perusahaan. Selain pendefinisian tersebut, ketentuan mengenai definisi dari wartawan dalam UU Pers juga tidak bisa menjangkau para pelaksana pers mahasiswa. Pasal 1 ayat (4) UU Pers mendefinisikan wartawan sebagai orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Situasi pelaksana pers mahasiswa yang mana adalah mahasiswa, membuatnya

kesulitan untuk memenuhi unsur dari “teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”. Hal ini tentunya dikarenakan terdapat beberapa hal yang dianggapnya sebagai prioritas, salah satunya adalah menyelesaikan masa studinya.

Tidak diakuinya pers mahasiswa dari segi keharusan untuk berbadan hukum dan definisi wartawan yang harus teratur melaksanakan kerja jurnalistik menjadi kunci permasalahannya. Ketentuan tersebut membuat berbagai ketentuan dalam UU Pers dan peraturan turunannya tidak bisa menjangkau untuk memberikan perlindungan hukum.

Pasal 18 ayat (1) UU Pers mengatur hukuman pidana maksimal hingga dua tahun bagi setiap orang yang menghalang – halangi kerja – kerja jurnalistik. Selanjutnya, ketentuan dalam Nota Kesepahaman No: 03/DP/MoU/III/2022 – NK/4/III/2022 mengatur mengenai dimungkinkannya pengalihan penyelesaian perkara terkait pemberitaan yang dilaporkan secara pidana, ke ranah sengketa pers di Dewan Pers. Kedua ketentuan hukum tersebut sejatinya dibuat untuk melindungi Jurnalis agar tidak mudah untuk dikriminalisasi, namun pada akhirnya hanya dapat diberlakukan kepada pers nasional saja.

Merespon permasalahan dan bagaimana peliknya situasi pers mahasiswa tersebut tentunya memunculkan gagasan terkait beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk dilakukan. Pertama, dengan merevisi UU Pers untuk mengakui eksistensi hukum dari pers mahasiswa. Mengingat UU Pers belum pernah dilakukan revisi sejak disahkan pada tahun 1999 lalu, sepertinya usulan ini tidak terlalu gegabah. Namun perlu diingat bahwa revisi ini tentunya harus dilakukan secara hati – hati dengan melibatkan seluruh insan pers, serta harus menjauhkan segala upaya – upaya intervensi yang dapat berimbas pada independensi pers itu sendiri.

Kedua, membuat sebuah peraturan yang mengatur secara spesifik terkait pers mahasiswa. Pembentukan peraturan ini tentunya dapat mengakomodir ketentuan pengakuan dan perlindungan pers mahasiswa dalam melaksanakan kerja – kerja jurnalistik. Ketentuan tersebut tetap harus diimbangi dengan pengaturan mengenai kewajiban dan keharusan untuk menaati kode etik jurnalistik sebagai tolak ukurnya.

Kesadaran akan urgensi untuk menghadirkan sebuah ketentuan hukum yang mengakui dan melindungi pers mahasiswa ini sudah banyak disampaikan oleh insan pers Indonesia. Perlu hal yang lebih besar selain menyadari situasi yang pelik ini, yaitu dengan mengambil langkah nyata dalam waktu dekat. Perlu diingat bahwa pers adalah pilar keempat dalam demokrasi dan kemerdekaan pers sejatinya adalah perwujudan dari hak asasi manusia itu sendiri. Negara berkewajiban untuk melindunginya, siapapun pelaksanaanya dan apapun bentuk wadahnya.

Jakarta, 1 Februari 2024
Penulis,

Rizki Yudha Prawira
Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?