Dr. Beniharmoni Harefa Bahas Sistem Peradilan Pidana Anak dalam PKPA Angkatan VII Kerja Sama DPC PERADI Jakarta Barat & Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta
- Sabtu, 14 Juni 2025
- HUMAS FH
- 0

Jakarta, 14 Juni 2025 — Dalam rangkaian kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan VII, yang diselenggarakan atas kerja sama antara DPC PERADI Jakarta Barat dan Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta, Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik FH UPNVJ, menyampaikan materi penting dan aktual mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
Acara yang digelar secara luring di Grand Slipi Tower, Jakarta Barat dan juga disiarkan secara daring ini mengangkat urgensi perlindungan terhadap anak sebagai kelompok rentan dalam sistem hukum, serta pentingnya pendekatan keadilan restoratif sebagai paradigma baru dalam penanganan perkara anak.
Paradigma Baru: Dari Retributif Menuju Restoratif
Dalam pemaparannya, Dr. Harefa menegaskan bahwa proses peradilan pidana konvensional terhadap anak seringkali berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak—baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, dengan berlandaskan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), pendekatan restoratif (restorative justice) harus dikedepankan untuk menghindarkan anak dari proses penghukuman yang menstigmatisasi.
“Anak bukan miniatur orang dewasa, maka proses peradilan terhadap anak tidak bisa disamakan dengan proses peradilan terhadap orang dewasa,” ujar Dr. Harefa. Beliau menekankan bahwa sistem peradilan harus mengutamakan kepentingan terbaik anak (the best interest of the child), sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak (CRC) dan peraturan perundang-undangan nasional.
Diversi: Jalan Alternatif yang Wajib Ditempuh
Salah satu inti pokok dalam sistem peradilan pidana anak adalah diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses formal ke mekanisme non-litigasi melalui musyawarah dengan melibatkan anak pelaku, korban, orang tua, pekerja sosial, dan tokoh masyarakat.
Proses diversi ini wajib dilakukan sejak tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan, sepanjang tindak pidana yang dilakukan anak memiliki ancaman di bawah 7 tahun penjara dan bukan pengulangan kejahatan. Hasil diversi dapat berbentuk pelayanan masyarakat, pendidikan, atau penyerahan kembali kepada orang tua.
Menegaskan Hak-Hak Anak dalam Proses Hukum
Dr. Harefa juga menjelaskan tentang perlindungan hak anak selama proses hukum, termasuk pembatasan penahanan anak hanya sebagai upaya terakhir (last resort), pengurangan masa penahanan, dan penekanan bahwa anak di bawah usia 14 tahun tidak boleh ditahan.
“Penjara bukan tempat mendidik anak. Jika kita gagal menerapkan pendekatan restoratif, kita gagal menciptakan keadilan yang sesungguhnya,” tegas beliau.
Sesi materi ini juga diwarnai dengan diskusi interaktif mengenai kasus-kasus konkret, seperti kriminalisasi anak karena mencuri sandal, bermain judi, hingga masalah anak yang menjadi korban sekaligus pelaku. Peserta PKPA aktif berdialog dan bertanya mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana anak, pelaksanaan diversi, serta implikasi hukum jika anak mengalami kekerasan selama proses hukum.
Dr. Beni memberikan tanggapan detail, dengan menjelaskan aspek yuridis maupun sosiologis dalam penerapan UU SPPA, serta membandingkan pendekatan hukum Indonesia dengan standar internasional seperti Beijing Rules dan Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes dari PBB.
Melalui pemaparan ini, para peserta PKPA tidak hanya memperoleh pengetahuan normatif tentang hukum pidana anak, tetapi juga pemahaman kontekstual yang mendalam mengenai pentingnya membangun sistem hukum yang berkeadilan, humanis, dan berpihak pada masa depan anak.
Dengan semangat reformasi hukum yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, PKPA Angkatan VII semakin menegaskan komitmen Fakultas Hukum UPNVJ dan DPC PERADI Jakarta Barat dalam mencetak advokat profesional yang peka terhadap isu-isu perlindungan kelompok rentan, khususnya anak-anak.