Menurut Dr. Taufiqurrohman, penggunaan kata “Republik” tersebut dianggap tidak sesuai dengan fakta historis dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum setiap kali peringatan 17 Agustus tiba. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar kata tersebut dihapus atau dimaknai ulang menjadi “Bangsa” demi menghindari kerancuan interpretasi hukum dan menjaga kesinambungan makna sejarah.
Dr. Taufiqurrohman menekankan bahwa jika kata “Republik” tidak dihapus atau dimaknai ulang, kerugian konstitusional tidak hanya akan dirasakan oleh para pemohon, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia. “Penggunaan kata Republik dalam konteks ini dianggap tidak mencerminkan sejarah bangsa dan bertentangan dengan kajian ilmu,” ujarnya dalam keterangan di hadapan para hakim MK.
Keterangan yang disampaikan Dr. Taufiqurrohman ini diharapkan dapat memberikan perspektif bagi Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan penyesuaian terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Protokol, demi menjaga kepastian hukum serta harmonisasi sejarah dan ilmu pengetahuan.