Rilisnya Film “Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso” tanggal 28 September 2023 yang menceritakan dokumentasi perjalanan Kasus “Kopi Sianida” yang menewaskan Wayan Mirna Salihin. Film ini menjadi menarik ketika beberapa fakta terungkap dari berbagai perspektif. Jessica Wongso sebagai pelaku yang bertanggung jawab atas tewasnya Wayan Mirna Salihin sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 498 K/PID/2017.

Jika menelisik fakta yang ada dalam perkara tersebut kejadian meninggalnya Wayan Mirna Salihin merupakan suatu peristiwa Kematian yang tidak wajar/ Unnatural Death. Kematian tidak wajar/ Unnatural Death secara singkat diartikan sebagai kematian yang terjadi karena faktor eksternal, seperti kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan dan malpraktek medis baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam konteks hukum terhadap kematian yang tidak wajar/ Unnatural Death maka sesuai dengan pasal 133 dan 134 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”, dan pasal 134 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban”. ketentuan tersebut menjadi landasan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan kepada korban yang meninggal dalam kondisi yang tidak wajar.

Pemeriksaan pada kasus seperti “Kopi Sianida” dimana peristiwa terjadi dengan begitu banyak penafsiran bahwa apa yang terjadi kepada korban, maka pemeriksaan dengan Bedah Mayat (autopsi forensik) menjadi sangat penting dan mutlak untuk dilakukan. Pemeriksaan Bedah Mayat (autopsi forensik) merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan melalui proses pembedahan kepada mayat atau jenazah secara keseluruhan bagian tubuh untuk mengetahui apa yang terjadi pada tubuh korban dan apa yang menjadi sebab dari kematian korban.

Berita Terkait :  Akademisi UPN Veteran Harap RUU KUH Perdata Disahkan Tahun 2022

Pemeriksaan Bedah Mayat (autopsi forensik) pada dasarnya dilakukan untuk 2 hal penting. Pertama, untuk mengetahui sebab akibat kematian. Informasi mengenai hubungan sebab akibat kematian menjadi sangat penting dalam perkara melibatkan tubuh manusia apalagi dalam perkara pembunuhan, ini dikarenakan pemenuhan unsur delik pembunuhan harus dapat dibuktikan dengan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku sebagai penyebab dan kematian korban sebagai akibat dari perbuatan pelaku yang dalam hukum pidana disebut Ajaran Kausalitas. Selain itu, dalam perkara pidana khususnya pembunuhan merupakan delik materiel sehingga pembuktian dilakukan untuk mencapai kebenaran materiel.

Kedua, untuk mengumpulkan alat bukti khususnya alat bukti keterangan ahli dan surat. Alat bukti keterangan ahli dapat dipenuhi dengan dilakukannya pemeriksaan oleh dokter forensik atau dokter yang melakukan pemeriksaan kepada tubuh korban dan alat bukti surat berupa laporan hasil pemeriksaan terhadap tubuh korban yang dilakukan oleh dokter forensik atau dokter yang didasarkan atas permintaan penyidik yang disebut sebagai “Visum et Repertum”.

Jika ditarik pada kasus “Kopi Sianida” maka sudah menjadi sesuatu penting dilakukan pemeriksaan bedah mayat (autopsi forensik) terhadap tubuh Wayan Mirna Salihin. Dalam perjalanan kasus tersebut pemeriksaan Bedah Mayat (autopsi forensik) sebelumnya tidak disetujui oleh pihak keluarga dengan berbagai alasan. Penolakan terhadap pelaksanaan pemeriksaan bedah mayat (autopsi forensik) pada dasarnya tidak dimungkinkan jika terhadap kasus kematian yang tidak wajar. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 134 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut” dan Pasal 134 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.” Berdasarkan ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum dengan alasan “Kepentingan Hukum” dapat dilakukan pemeriksaan kepada jenazah atau korban yang mati secara tidak wajar. Selain itu, apabila keluarga korban masih tetap menolak dengan permintaan penyidik atas dasar kepentingan hukum, maka aparat penegak hukum dapat menegakkan Pasal 222 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Ketentuan pasal 222 menjadi dasar hukum jika aparat penegak hukum mendapatkan upaya halangan atau menggagalkan atau penolakan dari pihak keluarga terhadap upaya pelaksanaan pemeriksaan bedah mayat (autopsi forensik).

Berita Terkait :  Kalender Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Bidang Hukum

Jakarta, 09 Oktober 2023
Penulis,

Handar Subhandi Bakhtiar
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?