Dr. Handar Subhandi Bakhtiar, S.H., M.H., M.Tr.Adm.Kes. (Ketua Jurusan & Koordinator Program Studi Hukum Program Magister)

Ditengah hiruk pikuk banyaknya perkara pidana yang muncul dan menarik perhatian masyarakat, bagaikan Fatamorgana Keadilan. Proses hukum yang tampak bernilai keadilan ternyata malah menunjukkan ketidakadilan. Fenomena ini tidak terlepas dari kecenderungan proses hukum yang hanya menjalankan prosedural semata dan sering melupakan aspek substansial dari keadilan. Proses hukum yang hanya berfokus pada prosedur formal sering kali mengabaikan tujuan utama dari hukum itu sendiri, yaitu mencapai keadilan. Prosedur hukum memang penting untuk menjamin adanya kepastian hukum dan keteraturan, namun ketika prosedur tersebut dijalankan secara kaku dan tanpa mempertimbangkan aspek substansial, maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Banyak kasus yang menunjukkan bagaimana proses hukum formalistik gagal memberikan keadilan yang sesungguhnya kepada para pihak yang terlibat.

Salah satu contoh nyata adalah dalam kasus-kasus pidana di mana terdakwa diperlakukan dengan tidak adil hanya karena kurangnya bukti yang kuat atau adanya tekanan dari pihak tertentu. Di satu sisi, terdakwa mungkin saja tidak bersalah, namun karena prosedur hukum yang dijalankan tidak memperhatikan bukti-bukti substansial, terdakwa tetap divonis bersalah. Di sisi lain, ada pula kasus di mana terdakwa yang jelas-jelas bersalah bisa lolos dari jeratan hukum karena mampu memanipulasi prosedur hukum yang ada. Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum yang seharusnya berfungsi untuk melindungi masyarakat dan menjamin keadilan. Ketika proses hukum hanya menjadi sekedar ritual prosedural tanpa memperhatikan kebenaran materiil, maka hukum kehilangan maknanya sebagai alat untuk mencapai keadilan sebagaimana ungkapan dalam bahasa latin yaitu Lex deficere non potest in justitia exhibenda yang berarti hukum tidak boleh gagal dalam memberikan keadilan.

Apabila menelisik prosedur sistem peradilan pidana, suatu tindak pidana akan dilakukan suatu penyelidikan dan penyidikan untuk mencari bukti sesuai dengan fakta yang terjadi. Sesuai dengan Pasal 184  ayat 1 KUHAP bahwa alat bukti yang sah ialah a) keterangan saksi, b) keterangan ahli, c) surat, d) petunjuk dan e) keterangan terdakwa, minimal dengan 2 alat bukti yang tersebut inilah yang harus dipenuhi oleh aparat penegak hukum baik penyidik, penuntut umum, penasihat hukum dan hakim untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah.

Berita Terkait:  Seminar Nasional BKS Dekan FH PTN Se-Indonesia dengan Topik Rumpun Ilmu Hukum Bisnis

Dalam beberapa kasus yang terjadi, para aparat penegak hukum seolah-olah hanya berfokus pada keterangan saksi sebagai alat bukti bukti pertama yang harus ditemukan jika terjadi suatu tindak pidana, padahal keterangan saksi ini juga ternyata tidak luput dari kelemahan dan adanya bias informasi yang diberikan oleh para saksi. Kedudukan alat bukti dalam suatu perkara pidana sangat penting, jika alat bukti yang dikumpulkan oleh aparat penegak hukum terdapat kelemahan maka akan terjadi kesesatan pada fakta hukum yang sebenarnya. Pentingnya bukti dalam pembuktian suatu tindak pidana diibaratkan sebagaimana sebuah ungkapan dalam bahasa latin yaitu Incriminalibus probationes bedent esse luce clariores yang berarti dalam perkara pidana bukti harus lebih terang daripada cahaya.

Ditengah perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan justru perkembangan bukti juga semakin maju dengan adanya istilah bukti ilmiah/scientific evidence. Bukti ilmiah/scientific evidence merupakan bukti yang dikumpulkan dengan berdasarkan suatu proses ilmiah baik untuk mendukung atau membantah suatu fakta, data ataupun hasil observasi.  Proses ilmiah tersebut melibatkan pengumpulan data melalui metode yang terstandarisasi, analisis data yang sistematis, dan penarikan kesimpulan yang didasarkan pada bukti yang ada. Sebagai contoh, seperti analisis DNA, rekaman CCTV, dan hasil forensik yang dapat memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bukti ilmiah ini pada dasarnya dapat menjelaskan fakta tindak pidana secara ilmiah sehingga semua argumentasi yang bersifat fiktif dapat terminimalisir sebagaimana ungkapan dalam bahasa latin yaitu Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbis? yang berarti ketika ada bukti yang membuktikan suatu fakta, maka apa gunanya perkataan?

Silahkan membaca artikel terkait perkembangan teori pembuktian ilmiah dalam hukum pidana melalui : https://e-journal.unair.ac.id/MI/article/view/51095

Jakarta, 7 Agustus 2024

Penulis,
Handar Subhandi Bakhtiar
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta
(Ketua Jurusan Hukum dan Koordinator Program Studi Magister)

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?