Dosen FH UPNVJ Didengarkan Keterangan Sebagai Ahli Disidang MAHKAMAH KONSTITUSI
- Senin, 1 November 2021
- 0
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LL.M. didengar pendapat ahli pada sidang Mahkamah Konstitusi (1/11/2021). Hal ini untuk member penjelasan terkait perkara Nomor 21/ PUU-XIX/2021 dengan pemohon, sdr Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga terkait Permohonan Pengujian Pasal 293 ayat 1 dan 2 dan Pasal 288 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Pasal 28D dan 28G Undang-Undang Dasar 1945
Dalam keterangan ahlinya, Dr Beniharmoni menjelaskan bahwa bahwa kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan, termasuk di dalamnya perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, termasuk kategori graviora delicta atau kejahatan paling serius. Dimana beberapa parameter suatu perbuatan termasuk graviora delicta adalah 1. Kejahatan tersebut dampak viktimisasinya sangat luas dan berlangsung lama (seumur hidup); 2. Kejahatan tersebut merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk oleh masyarakat (people condemnation) baik nasional maupun internasional; 3. Memiliki Lembaga yang dibentuk khusus (Komnas Perempuan, KPAI, dsb); 4. Kejahatan dilandasi Konvensi Internasional; 5.Adanya Undang-Undang khusus yang mengatur perbuatan tersebut (UU Perlindungan Anak).
Pasal 293 KUHP tidak jelas memberikan pernyataan umur/ usia berapa yang dimaksud dalam kategori belum dewasa, bahkan dalam beberapa kasus sebagaimana diuraikan dalam permohonan pemohon, masih terdapat penuntut umum yang memasukkan ketidakdewasaan berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana usia belum dewasa yaitu 21 tahun. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum, serta multitafsir dalam penerapan pasal 293 KUHP.
Pasal 288 KUHP frasa “belum waktunya dikawini” belum memberikan penjelasan terkait batas usia “belum waktunya dikawini”. Sehingga hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan perdebatan dan multitafsir dalam tataran penerapan hukum seperti apa “belum waktunya untuk dikawini” sebagaimana dimaksud dalam pasal 288 KUHP. Sehingga sebaiknya merujuk pada Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal Pasal 7 ayat 1 menegaskan batas usia perkawinan baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.
Pada sidang Mahkamah Konstitusi ini dihadiri oleh 9 orang Hakim MK, Perwakilan Pemerintah (Kuasa Hukum Presiden), Pemohon, Tim Kejaksaan Agung. Agenda yang dilaksanakan adalah agenda tunggal mendengarkan Keterangan Ahli dari Dosen FH UPN Veteran Jakarta sekaligus Ahli Hukum Perlindungan Anak.
Di akhir penjelasan keterangan Dr Beniharmoni yang juga alumni FH UGM ini menerangkan bahwa Pasal 293 ayat 1 KUHP dengan frasa “belum dewasa” dan Pasal 288 KUHP dengan frasa “belum waktunya dikawini” merupakan ketentuan yang multitafsir, sehingga patut diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 293 ayat 2 sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolute), maka demi kepastian hukum, diubah menjadi delik biasa.