Koreksi nomenklatur bukan hanya soal semantik, melainkan tanggung jawab moral terhadap kebenaran sejarah. Langkah konkret bisa dilakukan dengan merevisi UU Keprotokolan, menyelaraskannya dengan UU 24/2009, serta memperkuat pendidikan sejarah di sekolah dan media. Penyebutan yang lebih tepat untuk 17 Agustus adalah Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Setiap bulan Agustus, rakyat Indonesia dari pelosok desa hingga pusat kota bersuka cita menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Istilah ini, disingkat HUT RI, menghiasi baliho, spanduk, pidato kenegaraan, hingga siaran televisi. Namun, di balik gegap gempita peringatan itu, muncul satu pertanyaan mendasar: benarkah penyebutan HUT Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus itu tepat secara historis dan konstitusional?

Kalau kita menengok kembali lembaran sejarah, pada 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Saat itu, belum ada negara bernama “Republik Indonesia”. Bentuk negara baru diputuskan keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945, ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 dan secara resmi menetapkan Indonesia sebagai negara republik. Artinya, tanggal 17 Agustus adalah momentum proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, bukan kelahiran negara Republik Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana bila saat itu PPKI memilih bentuk negara lain, misalnya kerajaan atau konfederasi atau bila di masa depan bangsa menghendaki dengan mengubah bentuk negara menjadi monarki? Maka tentu saja hari kemerdekaan yang kita peringati tak bisa disebut sebagai HUT Republik Indonesia. Inilah yang menunjukkan bahwa penyebutan HUT RI adalah bentuk salah kaprah historis yang sudah terlalu lama berlangsung dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Kesalahan ini bukan sekadar soal pilihan kata, melainkan mencerminkan ketidaktepatan dalam memahami identitas historis bangsa. Dalam konteks kehidupan bernegara, nomenklatur memiliki makna dan dampak penting: ia mempengaruhi persepsi publik, sistem pendidikan, hingga praktik kenegaraan.

Kekeliruan ini pun telah dilembagakan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan dalam Pasal 16 huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 secara eksplisit menggunakan frasa “Hari Ulang Tahun Republik Indonesia” untuk menyebut 17 Agustus. Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara menggunakan istilah “Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia”. Ini terjadi inkonsistensi yang nyata antar norma hukum peraturan perundang-undangan.

Sejumlah warga negara kemudian mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai bahwa penggunaan frasa “Kemerdekaan Republik Indonesia” dalam UU Keprotokolan tidak hanya salah secara historis, tetapi juga melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh pendidikan dan informasi yang benar, sebagaimana dijamin Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perbedaan redaksi antara “Kemerdekaan Bangsa Indonesia” dan “Kemerdekaan Republik Indonesia” memiliki implikasi historis dan filosofis yang tidak bisa diabaikan. Namun, Mahkamah menyatakan bahwa perubahan nomenklatur adalah wilayah pembentuk undang-undang, bukan kewenangan Mahkamah. Artinya, meskipun MK menyadari kekeliruan tersebut, Mahkamah tidak mengambil langkah afirmatif untuk memperbaikinya. Sesungguhnya MK tetap memiliki kewenangan untuk memutus pengujian undang-undang, meskipun undang-undang tersebut merupakan hasil dari “open legal policy”. Open legal policy merujuk pada kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan sendiri materi muatan undang-undang, namun kewenangan ini tidaklah mutlak dan tetap dapat diuji oleh MK.

Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah Mahkamah Konstitusi hanya bertugas sebagai pengamat pasif dalam menjaga konstitusi? Dalam praktik di negara lain, seperti India atau Amerika Serikat, pengadilan konstitusional atau Mahkamah Agung berani mengambil sikap progresif dalam menafsirkan konstitusi, termasuk dalam hal simbolisme dan sejarah nasional.

Berita Terkait :  BEM Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta Laksanakan Studi Banding ke BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Koreksi nomenklatur bukan hanya soal semantik, melainkan tanggung jawab moral terhadap kebenaran sejarah. Langkah konkret bisa dilakukan dengan merevisi UU Keprotokolan, menyelaraskannya dengan UU 24/2009, serta memperkuat pendidikan sejarah di sekolah dan media. Penyebutan yang lebih tepat untuk 17 Agustus adalah Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Nomenklatur seperti “HUT RI” memang tampak sepele, tetapi memiliki dampak luas dalam pembentukan kesadaran sejarah kolektif. Kesalahan ini masuk dalam kurikulum sekolah, dikutip dalam buku pelajaran, dan digunakan dalam upacara kenegaraan. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan pemahaman sejarah yang kabur, bahkan keliru.

Sudah saatnya pemerintah, DPR, dan para pendidik bersikap lebih bijak dan jujur dalam menyampaikan fakta sejarah. Koreksi nomenklatur bukan hanya soal semantik, melainkan tanggung jawab moral terhadap kebenaran sejarah. Langkah konkret bisa dilakukan dengan merevisi UU Keprotokolan, menyelaraskannya dengan UU 24/2009, serta memperkuat pendidikan sejarah di sekolah dan media.

Penyebutan yang lebih tepat untuk 17 Agustus adalah “Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia”. Dengan menyebutnya secara benar, kita tidak sedang melemahkan nasionalisme, tetapi justru memperkuatnya dengan dasar historis yang benar dan jujur.

Bangsa yang besar bukan hanya mengenang kemerdekaannya dengan meriah, tetapi juga merawat ingatan kolektif dengan benar. Dan kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga keberanian untuk meluruskan kekeliruan, betapapun telah dianggap benar selama puluhan tahun.

Taufiqurrohman Syahuri, Guru Besar Hukum dan Kenegaraan UPN Veteran Jakarta, Dewan Pakar JSLG Jakarta

Diterbitkan juga di : https://www.hukumonline.com/berita/a/salah-kaprah-nomenklatur-hut-republik-indonesia-lt688dbd9729779/

Koreksi Nomenklatur HUT RI

Meluruskan Nomenklatur Hari Kemerdekaan

Taufiqurrohman Syahuri – Guru Besar Hukum dan Kenegaraan UPN Veteran Jakarta, Dewan Pakar JSLG Jakarta

Koreksi nomenklatur bukan hanya soal semantik, melainkan tanggung jawab moral terhadap kebenaran sejarah. Langkah konkret bisa dilakukan dengan merevisi UU Keprotokolan, menyelaraskannya dengan UU 24/2009, serta memperkuat pendidikan sejarah di sekolah dan media. Penyebutan yang lebih tepat untuk 17 Agustus adalah Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Setiap bulan Agustus, rakyat Indonesia dari pelosok desa hingga pusat kota bersuka cita menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Istilah ini, disingkat HUT RI, menghiasi baliho, spanduk, pidato kenegaraan, hingga siaran televisi. Namun, di balik gegap gempita peringatan itu, muncul satu pertanyaan mendasar: benarkah penyebutan HUT Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus itu tepat secara historis dan konstitusional?

Kalau kita menengok kembali lembaran sejarah, pada 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Saat itu, belum ada negara bernama “Republik Indonesia”. Bentuk negara baru diputuskan keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945, ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 dan secara resmi menetapkan Indonesia sebagai negara republik. Artinya, tanggal 17 Agustus adalah momentum proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, bukan kelahiran negara Republik Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana bila saat itu PPKI memilih bentuk negara lain, misalnya kerajaan atau konfederasi atau bila di masa depan bangsa menghendaki dengan mengubah bentuk negara menjadi monarki? Maka tentu saja hari kemerdekaan yang kita peringati tak bisa disebut sebagai HUT Republik Indonesia. Inilah yang menunjukkan bahwa penyebutan HUT RI adalah bentuk salah kaprah historis yang sudah terlalu lama berlangsung dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Berita Terkait :  Penandatanganan Turunan Perjanjian Kinerja Dekan dengan Pimpinan Unit Kerja Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta Tahun 2025
"Kesalahan ini bukan sekadar soal pilihan kata, melainkan mencerminkan ketidaktepatan dalam memahami identitas historis bangsa."

Dalam konteks kehidupan bernegara, nomenklatur memiliki makna dan dampak penting: ia mempengaruhi persepsi publik, sistem pendidikan, hingga praktik kenegaraan.

Kekeliruan ini pun telah dilembagakan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan dalam Pasal 16 huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 secara eksplisit menggunakan frasa “Hari Ulang Tahun Republik Indonesia” untuk menyebut 17 Agustus. Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara menggunakan istilah “Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia”. Ini terjadi inkonsistensi yang nyata antar norma hukum peraturan perundang-undangan.

Sejumlah warga negara kemudian mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai bahwa penggunaan frasa “Kemerdekaan Republik Indonesia” dalam UU Keprotokolan tidak hanya salah secara historis, tetapi juga melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh pendidikan dan informasi yang benar, sebagaimana dijamin Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perbedaan redaksi antara “Kemerdekaan Bangsa Indonesia” dan “Kemerdekaan Republik Indonesia” memiliki implikasi historis dan filosofis yang tidak bisa diabaikan. Namun, Mahkamah menyatakan bahwa perubahan nomenklatur adalah wilayah pembentuk undang-undang, bukan kewenangan Mahkamah. Artinya, meskipun MK menyadari kekeliruan tersebut, Mahkamah tidak mengambil langkah afirmatif untuk memperbaikinya.

Sesungguhnya MK tetap memiliki kewenangan untuk memutus pengujian undang-undang, meskipun undang-undang tersebut merupakan hasil dari open legal policy. Open legal policy merujuk pada kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan sendiri materi muatan undang-undang, namun kewenangan ini tidaklah mutlak dan tetap dapat diuji oleh MK.

"Apakah Mahkamah Konstitusi hanya bertugas sebagai pengamat pasif dalam menjaga konstitusi?"

Dalam praktik di negara lain, seperti India atau Amerika Serikat, pengadilan konstitusional atau Mahkamah Agung berani mengambil sikap progresif dalam menafsirkan konstitusi, termasuk dalam hal simbolisme dan sejarah nasional.

Nomenklatur seperti “HUT RI” memang tampak sepele, tetapi memiliki dampak luas dalam pembentukan kesadaran sejarah kolektif. Kesalahan ini masuk dalam kurikulum sekolah, dikutip dalam buku pelajaran, dan digunakan dalam upacara kenegaraan. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan pemahaman sejarah yang kabur, bahkan keliru.

Sudah saatnya pemerintah, DPR, dan para pendidik bersikap lebih bijak dan jujur dalam menyampaikan fakta sejarah. Koreksi nomenklatur bukan hanya soal semantik, melainkan tanggung jawab moral terhadap kebenaran sejarah. Langkah konkret bisa dilakukan dengan merevisi UU Keprotokolan, menyelaraskannya dengan UU 24/2009, serta memperkuat pendidikan sejarah di sekolah dan media.

Penyebutan yang lebih tepat untuk 17 Agustus adalah:
Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia

Dengan menyebutnya secara benar, kita tidak sedang melemahkan nasionalisme, tetapi justru memperkuatnya dengan dasar historis yang benar dan jujur.

"Bangsa yang besar bukan hanya mengenang kemerdekaannya dengan meriah, tetapi juga merawat ingatan kolektif dengan benar. Dan kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga keberanian untuk meluruskan kekeliruan, betapapun telah dianggap benar selama puluhan tahun."

Share

Contact Us

×