Direct licensing bukan ancaman bagi LMKN, melainkan peluang untuk memperbarui sistem kolektif yang selama ini bekerja di balik kabut tebal ketertutupan. Di tengah perubahan lanskap musik yang kian digital dan terdesentralisasi, pengakuan terhadap jalur lisensi langsung bukanlah pilihan ekstrem, melainkan sebuah keniscayaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan mengenai model pengelolaan royalti musik di Indonesia semakin mengemuka. Salah satu topik yang paling menyita perhatian adalah keberadaan sistem direct licensing, sebuah mekanisme yang memberi ruang bagi pemilik hak cipta untuk memberikan izin langsung kepada pengguna tanpa melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Perdebatan ini mencerminkan tarik-menarik antara pendekatan terpusat (centralized collective management) dan pendekatan individual berbasis pasar terbuka.

Secara hukum, sistem ini sah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 81, membuka peluang bagi pemilik hak untuk mengelola sendiri hak ekonomi mereka atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga. Secara teoretis, legitimasi direct licensing dapat dijelaskan melalui Property Rights Theory dari Richard A. Posner, yang menekankan pemberian hak eksklusif kepada individu atas kekayaan intelektual bertujuan untuk mendorong efisiensi pasar dan optimalisasi insentif ekonomi. Selain itu, Economic Incentive Theory dalam hukum hak cipta menekankan bahwa pengaturan hak ekonomi yang fleksibel akan meningkatkan kreativitas serta mendorong investasi dalam produksi karya musik. Namun, dalam praktik, jalan menuju pengakuan penuh atas direct licensing di Indonesia tak semulus semangat UU tersebut.

Masalah Ganda dalam Sistem Tunggal
Salah satu persoalan utama adalah potensi terjadinya penarikan ganda royalti. Meski seorang pencipta lagu telah menjalin kesepakatan lisensi langsung dengan pengguna seperti restoran atau penyelenggara acara, pengguna tetap bisa dimintai pembayaran oleh LMKN melalui mekanisme blanket licensing model yang mengenakan biaya tunggal untuk akses terhadap seluruh katalog lagu yang terdaftar di bawah LMKN.

Praktik semacam ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga membuka ruang bagi kerancuan administratif dan ketidakadilan distribusi royalti. Dalam beberapa kasus, pengguna yang telah membayar kepada pencipta tetap diminta untuk membayar ulang kepada lembaga yang tidak mewakili kepentingan sang pencipta.

Belajar dari Negara Lain
Perdebatan mengenai lisensi langsung atau direct licensing dalam industri musik nasional sudah waktunya diletakkan dalam perspektif perbandingan global. Banyak negara demokratis telah lebih dahulu merumuskan sistem perlindungan hak cipta yang memberi ruang bagi kebebasan ekonomi pencipta, menjamin kepastian hukum bagi pengguna, serta tetap mempertahankan fungsi lembaga kolektif. Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dapat menjadi cermin reformasi penting bagi Indonesia.

Di Amerika Serikat, sistem direct licensing telah lama berakar dalam praktik industri dan hukum nasional. Pemilik hak cipta dapat memberikan izin langsung kepada pengguna tanpa melalui lembaga kolektif seperti ASCAP (American Society of Composers, Authors and Publishers) dan BMI (Broadcast Music, Inc.). Dasar legalitasnya bertumpu pada U.S. Copyright Act of 1976, yang mengakui eksistensi dan keabsahan kontrak lisensi langsung antara pemilik hak dan pengguna. Bahkan, peraturan pengadilan federal (consent decrees) mengatur bagaimana ASCAP dan BMI tidak dapat menghalangi praktik direct licensing ini. Fleksibilitas tersebut justru menjadi kekuatan adaptif terhadap perubahan industri digital.

Di Inggris, direct licensing juga diakomodasi secara hukum melalui regulasi dan kebijakan yang berlaku dalam sistem pengelolaan hak oleh PRS for Music (Performing Right Society for Music). Meskipun PRS adalah organisasi manajemen kolektif utama, ia tidak memonopoli hak cipta para anggotanya. Pemilik hak diberi keleluasaan untuk mengelola lisensinya sendiri secara langsung, terutama dalam konteks penggunaan digital dan komersial skala besar. Hal ini merujuk pada Copyright, Designs and Patents Act 1988, serta prinsip-prinsip dalam Code of Conduct for Collecting Societies yang diterapkan oleh Intellectual Property Office UK.

Berita Terkait :  Fakultas Hukum UPNVJ Canangkan Zona Integritas Menuju WBK dan WBBM

Direct licensing bukan ancaman bagi LMKN, melainkan peluang untuk memperbarui sistem kolektif yang selama ini bekerja di balik kabut tebal ketertutupan. Di tengah perubahan lanskap musik yang kian digital dan terdesentralisasi, pengakuan terhadap jalur lisensi langsung bukanlah pilihan ekstrem, melainkan sebuah keniscayaan.

Sementara itu, Australia memberikan preseden yang paling progresif. Pemerintah Australia melalui Australian Competition and Consumer Commission (ACCC) memberlakukan Direct Licensing Code of Conduct, yang secara normatif mewajibkan lembaga kolektif seperti Australasian Performing Right Association and Australasian Mechanical Copyright Owners Society (APRA AMCOS) untuk pertama, menyediakan informasi yang jelas dan mudah dipahami tentang opsi direct licensing. Kedua, mencantumkan prosedur negosiasi dan hak-hak pencipta dalam dokumentasi publik. Ketiga, menjamin transparansi dan akuntabilitas proses lisensi. Kode etik ini bukan hanya menjamin hak ekonomi pencipta, tetapi juga mendorong efisiensi pasar melalui persaingan yang sehat antara lisensi kolektif dan lisensi langsung.

Ketiga negara tersebut memberi pelajaran penting: bahwa direct licensing bukanlah pembangkangan terhadap sistem kolektif, melainkan pelengkap yang sah dan legal untuk memperluas pilihan hukum bagi para pemilik hak cipta. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terdiferensiasi, fleksibilitas ini justru kunci untuk menjaga ekosistem musik tetap relevan, adil, dan berkelanjutan.

Antara Indirect dan Blanket Licensing
Perlu dipahami, blanket licensing yang digunakan LMKN berbeda dari indirect licensing secara umum. Indirect licensing biasanya masih memungkinkan fleksibilitas, karena pengguna berinteraksi dengan LMK sebagai perantara atas nama pemilik hak. Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta yang mengatur sistem royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) merupakan dasar hukum yang mendukung penggunaan blanket licensing oleh LMKN. Sistem ini memungkinkan pengguna untuk menggunakan ciptaan tanpa izin individu dari pencipta, dengan membayar royalti melalui LMK. Sementara blanket cenderung bersifat menyeluruh, menutup kemungkinan jalur langsung, dan menciptakan sistem yang ‘paket’, tapi tidak selalu adil. Terlebih, biaya operasional LMKN dengan menggunakan maksimal 20% dari dana Royalti yang telah dikumpulkan menjadi perhatian khusus bagi para pencipta dan pengelola pertunjukan. Akuntabilitas dan transparansi mekanisme serta metode perhitungan pemungutan dan pembagian pun menjadi sorotan publik.

Di sinilah pentingnya reposisi peran LMKN. Lembaga ini bukan satu-satunya jalan dalam tata kelola royalti. Bila seorang pencipta telah memilih jalur langsung, maka LMKN sepatutnya tidak lagi melakukan pemungutan terhadap pengguna yang telah memiliki kontrak sah. Tidak adil bagi pengguna membayar dua kali untuk satu karya. Tentu secara proses bisnis hal ini akan memberikan pandangan negatif bagi para pencipta domestik maupun internasional untuk dapat menjalankan hak ekonominya di Indonesia.

Mengusulkan Sistem Hibrida
Indonesia tak perlu terjebak dalam dikotomi: antara direct licensing yang dianggap individualis dan blanket licensing yang diklaim kolektifis. Kenyataannya, sistem distribusi hak cipta global hari ini cenderung bergerak ke arah hibrida menggabungkan fleksibilitas lisensi langsung dengan efisiensi manajemen kolektif. Ini bukan kompromi setengah hati, melainkan solusi strategis yang menempatkan kepentingan pencipta, pengguna, dan negara dalam satu jalur kepastian hukum. Sistem hibrida semestinya dibangun di atas tiga fondasi utama: transparansi data, keterbukaan katalog ciptaan, dan mekanisme pelaporan yang dapat diaudit.

Berita Terkait :  Wakil Dekan Bidang Akademik FH UPNVJ Sebagai Penguji Eksternal Ahli, Pada Seminar Hasil Penelitian Disertasi Program Doktor FH Universitas Pancasila

Pertama, keterbukaan data kepemilikan hak cipta menjadi kunci. Selama ini, pengguna layanan komersial musik seperti kafe, restoran, pusat perbelanjaan, dan stasiun televisi seringkali bingung kepada siapa mereka harus membayar royalti. Apakah melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), atau langsung kepada pencipta? Ambiguitas ini bukan hanya menciptakan kebingungan, tapi juga membuka ruang penarikan ganda, yang secara hukum jelas tidak dapat dibenarkan.

Kedua, katalog karya cipta yang terbuka sebagaimana diterapkan di Australia melalui Online Works Notification System dapat mencegah tumpang tindih dan memperjelas apakah suatu karya dilisensikan melalui sistem kolektif atau langsung. Di Indonesia, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memang memberikan hak kepada pencipta untuk memilih jalur lisensi. Namun tanpa mekanisme digitalisasi katalog dan pencatatan lisensi yang andal, hak tersebut hanya berhenti pada norma, tidak menjadi praktik.

Direct licensing bukan ancaman bagi LMKN, melainkan peluang untuk memperbarui sistem kolektif yang selama ini bekerja di balik kabut tebal ketertutupan. Di tengah perubahan lanskap musik yang kian digital dan terdesentralisasi, pengakuan terhadap jalur lisensi langsung bukanlah pilihan ekstrem, melainkan sebuah keniscayaan.

Ketiga, audit dan pelaporan. Sistem hibrida hanya akan berfungsi jika setiap transaksi royalty baik langsung maupun melalui LMK dicatat dan dapat diaudit oleh otoritas publik. Ini penting untuk mencegah monopoli, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi. LMKN, jika ingin tetap relevan, harus memposisikan diri sebagai regulator pasar lisensi, bukan sekadar pemungut royalti.

Sistem hibrida akan memperkuat posisi pencipta sebagai pemilik hak ekonomi dan moral. Pencipta bisa memilih menyalurkan haknya melalui LMK bila tidak memiliki infrastruktur atau waktu untuk mengelola sendiri. Namun bagi pencipta dengan jaringan luas, direct licensing akan menjadi jalan baru memperluas kemandirian finansial. Dalam konteks ini, Pasal 81 UU Hak Cipta telah memberi dasar hukum, selanjutnya diperkuat oleh kebijakan teknis dan ekosistem digital.

Bagi pengguna jasa baik pelaku bisnis maupun penyelenggara acara sistem ini menciptakan kepastian hukum. Selama mereka bisa menunjukkan bahwa telah memperoleh izin melalui kanal yang sah, mereka tak perlu takut tuntutan ganda. Sementara bagi negara, ini adalah ujian sejauh mana hukum kekayaan intelektual dapat menjawab kebutuhan zaman, bukan sekadar mencatat pelanggaran.

Penting dicatat, negara-negara seperti Australia telah membuktikan bahwa sistem seperti ini dapat berjalan. Mereka tidak membubarkan lembaga kolektif, namun justru mereformasinya menjadi lebih transparan, adaptif, dan berorientasi pada layanan. Indonesia bisa dan seharusnya belajar dari praktik tersebut. Lisensi musik bukan sekadar urusan internal industri hiburan, melainkan bagian dari reformasi hukum yang lebih luas tentang: hak, pilihan, dan masa depan ekosistem kreatif yang adil bagi semua pihak.

Penutup
Perlu kehati-hatian dalam menyikapi dinamika ini. Direct licensing bukan ancaman bagi LMKN, melainkan peluang untuk memperbarui sistem kolektif yang selama ini bekerja di balik kabut tebal ketertutupan. Di tengah perubahan lanskap musik yang kian digital dan terdesentralisasi, pengakuan terhadap jalur lisensi langsung bukanlah pilihan ekstrem, melainkan sebuah keniscayaan.

*) Rianda Dirkareshza, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

Telah diterbitkan pada : https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/?page=3

Share

Contact Us

×