Jakarta, 19 November 2024 – Di tengah pesatnya perkembangan ekonomi digital dan transformasi bisnis yang semakin global, perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya merek, menjadi salah satu hal yang tak bisa dipandang sebelah mata. Merek atau juga biasa disebut trademark bukan hanya sekadar identitas visual bagi perusahaan, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang besar dan berperan penting dalam membangun kepercayaan konsumen. Namun, meski keberadaannya sangat vital, masih banyak pelaku usaha yang kurang memahami betapa pentingnya pendaftaran merek serta bagaimana cara melindunginya dari potensi pelanggaran hukum.

Seminar bertema Navigating Creativity and Control: Balancing Freedom and Regulation in the Digital Economy Era yang diadakan di Auditorium FK UPN Veteran Jakarta pada 19 November 2024, menjadi momen penting untuk membahas isu-isu seputar merek, terutama dalam konteks hukum dan penegakannya di Indonesia. Dalam seminar tersebut, Dr. Muthia Sakti, S.H., M.H., memaparkan berbagai hal terkait peran merek dalam bisnis, tantangan yang dihadapi dalam penegakan hak merek, serta bagaimana langkah-langkah yang perlu diambil untuk melindungi aset berharga ini di era digital yang terus berkembang.

Berita Terkait :  DR. Ir. Hj. Endang S Thohari Anggota DPR RI Komisi IV Melaksanakan Program Ketahanan Pangan Nasional Melalui Kunker Perorangan pada Masa Reses Bersama Mahasiswa FH UPNVJ dalam Program Magang Di Rumah Rakyat DPR RI Tahun 2024

Dr. Muthia menjelaskan bahwa merek bukan sekadar simbol, tetapi adalah tanda yang membedakan barang atau jasa dan menunjukkan sumbernya. Merek bisa berupa nama, logo, simbol, bahkan suara atau warna tertentu. Di Indonesia, merek memiliki masa berlaku sepuluh tahun dan bisa diperpanjang. Namun, penting untuk diingat, agar merek tetap terlindungi, ia harus digunakan dalam waktu tiga tahun sejak pendaftaran, karena jika tidak, merek bisa dicabut.

Indonesia menggunakan sistem “first-to-file”, artinya siapa yang pertama mendaftarkan merek, maka dia yang berhak atas merek tersebut. Ini menjadi alasan mengapa pendaftaran merek harus segera dilakukan, meskipun pihak lain sudah menggunakannya lebih dulu. Agar bisa mendapatkan perlindungan, merek harus memiliki ciri khas, sah, dan tidak membingungkan atau mirip dengan merek yang sudah terdaftar sebelumnya.

Dalam pembahasannya, Dr. Muthia juga menekankan betapa besar nilai ekonomi yang bisa dihasilkan oleh merek. “Merek tidak hanya melindungi identitas suatu perusahaan, tapi juga menjadi daya saing dan sumber inovasi, bahkan bisa membuka peluang lisensi dan monetisasi,” katanya. Meski begitu, ia juga memperingatkan tentang pentingnya menjaga hak merek agar tidak disalahgunakan. Jika merek dilanggar, pemiliknya bisa mengajukan gugatan di Pengadilan Niaga untuk meminta ganti rugi dan menghentikan penggunaan merek tersebut tanpa izin. Dalam kasus pelanggaran berat, pelaku bisa dikenakan denda hingga Rp 2 miliar atau dipenjara hingga lima tahun.

Berita Terkait :  FH UPNVJ mengadakan Rapat Dosen Semester Ganjil TA. 2024/2025

Namun, penegakan hukum terkait merek di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Dr. Muthia mengakui bahwa biaya litigasi yang tinggi dan kurangnya koordinasi antar lembaga terkait menjadi hambatan dalam perlindungan merek yang maksimal. Untuk itu, ia mengusulkan perlunya kolaborasi antar lembaga yang lebih kuat dan kampanye penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak merek.

Dr. Muthia menutup sesi seminar dengan pesan penting untuk para pelaku usaha: agar segera mendaftarkan merek mereka dan mematuhi ketentuan yang ada. Menurutnya, di era digital ini, merek bukan hanya simbol, tetapi juga mencerminkan identitas dan kredibilitas sebuah perusahaan. “Merek adalah aset yang sangat berharga, terutama di pasar yang semakin kompetitif,” tuturnya.

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?