Wakil Dekan Bidang Akademik FH UPN Veteran Jakarta yang juga Ahli Hukum Pidana Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LL.M. menyatakan bahwa Hakikatnya Restorative Justice tidak sekedar perdamaian antara pelaku dan korban namun pemulihan ke keadaan semula antara pelaku korban dan masyarakat. Hal ini dikemukakan Dr Beniharmoni saat menjadi salah seorang Narasumber dalam acara Catatan Akhir Tahun yang diselenggarakan Asperhupiki dan YLBHI.

Pada prinsipnya, restorative justice merupakan sebuah pendekatan yang sudah diadopsi dalam peraturan perundang-undangan kita, tidak terkecuali dalam UU SPPA. Hakikat pelaksanaan upaya ini adalah bukan hanya melihat dari sisi pelaku, tetapi juga korban. RJ relatif diartikan secara sempit sebagai sarana “perdamaian”, pelaku dihentikan perkaranya, dan tujuan besar dari restorative justice tidak tercapai. Selain UU SPPA, UU TPKS juga sudah mengadopsi, selain itu juga ada UU Nomor 1 Tahun 2023. Beberapa peraturan lain tentang RJ ditemukan dalam peraturan yang bersifat sektoral. Ini menjadi catatan, apakah memang jika diatur secara sektoral apakah tidak menjadi suatu persoalan?

Berita Terkait :  Mahasiswa Hukum UPNVJ Lakukan Pengabdian Masyarakat Pemberdayaan Seniman Lokal Melalui Pemahaman Dan Perlindungan Hak Cipta Di Kelompok Musisi Muda Daerah Cipete, Jaksel

Saya melihatnya sebagai tantangan, karena prosedur masing-masing lembaga kan berbeda, sehingga kemudian hadirnya pengaturan RJ per lembaga menjadi suatu persoalan dalam rangka pelaksanaannya. Pelaksanaan mengenai RJ tidak terintegrasi dengan baik, sejak Perja 2015 menjadi booming di bawah Jampidum Kejaksaan RI. Kalau dilihat penyelesaian kasus yang berbasis pada keadilan restoratif.

Kesuksesan RJ:
1. Kejaksaan -> 2022: 1.456 2023: 1.407
2. Kepolisian -> 2023: 18.175 2022: 15.809

  1. Tantangan dalam implementasi RJ di Indonesia:
    Inkonsistensi dan perbedaan prosedur antarlembaga;
  2. Kesenjangan sumber daya manusia dan kapasitas penegak hukum, terkait:
    – Teknik mediasi dan negosiasi;
    – Pemahaman konsep keadilan restoratif secara holistik;
    – Sensitivitas terhadap korban dan kebutuhan psikososial mereka.
  3. Keterbatasan sarana dan prasarana;
  4. Rendahnya kesadaran dan dukungan masyarakat;
    Jika kita melihat segitiga RJ yang disampaikan oleh Tony F Marshall maka harus ada korban, pelaku, dan masyarakat di dalamnya. Meskipun di dalam UU SPPA, ada keterlibatan perwakilan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat. Kalau kita jeli melihat, APH kesulitan menghadirkan itu, apalagi di perkotaan sangat susah untuk menentukan tokoh yang dimaksud, siapa yang membayar uang transportasi, dll.
  5. Minimnya pengawasan dan evaluasi; Pemahaman masyarakat masih berkutat kalau tidak penjara
Berita Terkait :  Finalisasi Rencana Strategi (Renstra) Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta Periode 2020-2024
Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?