Tantangan dan Hambatan Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia
- Senin, 14 Juli 2025
- HUMAS FH UPNVJ
- 0


Jakarta, 14 Juli 2025 – Persoalan penerapan Diversi dan Pengambilan Keputusan Bagi Anak yang belum berumur 12 Tahun menjadi salah satu tantangan dan hambatan dalam implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Hal ini mengemuka pada saat Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Tim Peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ). FGD ini dilaksanakan pada Kamis 10 Juli 2025 secara daring dengan menghadirkan beberapa narasumber dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat Tindak Pidana Pelayanan Perempuan dan Anak serta Pidana Perdagangan Orang Mabes Polri; Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dian Sasmita, S.H., M.H. yang hadir pada FGD sebagai Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti pentingnya integrasi SPPA dalam sistem perlindungan anak secara keseluruhan, Dian menegaskan bahwa SPPA bukan hanya soal anak pelaku, tetapi juga anak korban dan saksi. Ia mengangkat persoalan ketidaksinkronan data antar lembaga, kurangnya keterlibatan UPTD PPA dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, serta belum optimalnya pencatatan data anak saksi di sistem nasional. Tantangan geografis seperti di Pulau Sumba yang hanya memiliki satu Bapas untuk 11 kabupaten juga menjadi perhatian. Jumlah BAPAS se Indonesia sejumlah 90. Jumlah LPKS 98 (2022), Jumlah Unit PPA Polres se Indonesia 528. Jumlah LPKA sejumlah 33 se Indonesia. UPTD PPA se Kabupaten/ Kota sebanyak 254.
Sebagai perwakilan kepolisian, AKBP Endang Sri Lestari, S.H., M.Si sebagai Kanit 1 Subdit 1 Dittipid PPA PPO Bareskrim Polri, menyampaikan pengalaman implementatif SPPA dari perspektif penegak hukum di lapangan. Endang menyoroti Fasiltas Penunjang di Unit PPA. Fasilitas Ruang Diversi dan penempatan sementara Anak Berhadap dengan Hukum. Keterbatasan fasilitas menjadi sorotan penting dari Endang Sri Lestari, tidak semua Unit PPA memiliki fasilitas yang memadai atau memenuhi standar nasional yang ditetapkan, terutama di daerah terpencil atau dengan sumber daya terbatas.
Hal ini juga didukung dengan pemaparan dari Dr. Erni Mustikasari, S.H., M.H. Jaksa pada Kejaksaan Agung RI, dimana perwakilan dari kejaksaan ini menyampaikan gagasannya terkait desain ideal sistem peradilan pidana anak dari perspektif kejaksaan, termasuk praktik diversi yang selama ini dilakukan serta potensi penguatan restoratif berbasis hukum adat dan budaya lokal. Adapun tahap yang perlu diperbaiki dalam penerapan Keadilan Restoratif pada Sistem Peradilan Pidan Anak yakni Diversi serta Pengambilan Keputusan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) Tahun.
FGD ini juga dilengkapi dengan pemaparan Ketua Pengadilan Tinggi Riau yang juga sangat konsern terharap Sistem Peradilan Pidana Anak, Dr. Hj. Diah Sulastri Dewi, S.H., M.H. yang membahas tantangan dalam praktek pengadilan anak, termasuk keterbatasan infrastruktur, minimnya hakim anak yang tersertifikasi, serta urgensi sinkronisasi antara norma, kebijakan, dan praktik peradilan. Ia juga memberi catatan penting bagi proses reformulasi revisi UU SPPA yang sedang dirancang. Anak bukanlah miniatur orang dewasa, anak sebagai pelaku bukanlah pelaku murni. Dr Diah Sulastri Dewi menambahkan: perkara Tindak Pidana Anak yang berhasil menempuh proses diversi sebanyak 424 atau sebesar 42.57% dari jumlah perkara yang diterima yaitu 996. Jumlah perkara diversi Tahun 2024 meningkat 58.61% dari Tahun 2023 yang berjumlah 657 perkara. Rasio keberhasilan diversi berkurang 39.72% dari 70.62% pada Tahun 2023 menjadi 42.57%.

FGD ini merupakan bagian dari upaya akademik untuk mengevaluasi implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan merumuskan sistem yang lebih responsif terhadap kebutuhan anak serta sesuai dengan nilai-nilai lokal. Adapun Tim Peneliti diantara: Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LL.M. (Ketua Peneliti/Dosen FH UPNVJ); Kayus Kayowuan Lewoleba, SH, MH (Anggota/ Dosen FH UPNVJ); Dr. Zico Junius Fernando, SH, MH (Anggota/ Dosen FH Univ Bengkulu); Diajeng Dhea Annisa Aura Islami (Anggota/ Mahasiswa); Bryan Storm Feryan Dji (Anggota/ Mahasiswa).
Adapun narasumber pada FGD diantaranya: Dian Sasmita, S.H., M.H. sebagai Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI); AKBP Endang Sri Lestari, S.H., M.Si sebagai Kanit 1 Subdit 1 Dittipid PPA PPO Bareskrim Polri; Dr. Erni Mustika Sari, SH, MH, Jaksa pada Kejaksaan Agung RI; Dr. Hj. Diah Sulastri Dewi, SH, MH Ketua Pengadilan Tinggi Riau. Kegiatan ini dibuka oleh Ketua Tim Peneliti, Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M., dan dimoderatori oleh tim peneliti Bryan Storm Feryan Dji (Anggota/ Mahasiswa).
Diskusi berlangsung interaktif, dengan sorotan utama pada hambatan implementasi SPPA, seperti pemahaman aparat yang masih minim tentang keadilan restoratif, kendala struktural di daerah, serta perlunya pelatihan khusus bagi penyidik, jaksa, dan hakim dalam menangani perkara anak. FGD ini juga menekankan pentingnya merancang sistem peradilan pidana anak yang lebih responsif terhadap kebutuhan riil di lapangan.
Sistem hukum yang baik tidak cukup hanya diatur dalam regulasi, tetapi harus mampu menjawab tantangan implementasinya, mulai dari keterbatasan fasilitas, sumber daya manusia, hingga koordinasi antar-instansi. Oleh karena itu, desain ideal SPPA ke depan perlu mempertimbangkan konteks sosial di berbagai wilayah Indonesia dan memastikan pendekatan yang berkeadilan, ramah anak, dan berorientasi pada pemulihan. Melalui penelitian ini, diharapakan memberikan rekomendasi ilmiah dan praktis kepada lembaga-lembaga penegak hukum serta pemangku kepentingan lainnya dalam merumuskan desain ideal SPPA yang humanis, berbasis nilai lokal, dan berorientasi pada pemulihan anak.