Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta

Bertempat di LT II. RR Rektorat. 17 September 2015.

fokus bahasan dari penyelenggaraan seminar nasional dengan tema “Arah Kebijakan Logistik Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia”, sebagai berikut:

  1. Kedudukan Indonesia dan Arah Kebijakan Logistik Maritim di Indonesia.
  2. Tantangan Implementasi Kebijakan Perlindungan Konsumen pada Industri Logistik Maritim.
  3. Peran Praktisi Hukum dalam Industri Logistik Maritim.

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) yang wilayahnya terdiri dari bentangan perairan yang luas dan memiliki sebaran pulau hingga 17.508, aktivitas bisnis di bidang pelayaran tentu memiliki peranan yang sangat penting di Indonesia. Pentingnya pelayaran bagi Indonesia disebabkan oleh keadaan geografisnya, yang strategis bagi hubungan dan tempat persinggahan pelayaran komersial, termasuk distribusi barang dan atau jasa di ke seluruh wilayah Indonesia, baik yang berasal dari suatu daerah dalam wilayah Indonesia maupun berasal dari luar negeri. Salah satu wujudnya adalah peranan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas dalam upaya distribusi logistik nasional, baik logistik yang tersedia di dalam negeri maupun berasal dari luar negeri.

Sejak dijabarkan ke dalam lima pilar – Budaya Maritim, Ekonomi Maritim, Konektivitas Maritim, Diplomasi Maritim dan Keamanan Maritim, istilah Poros Maritim Dunia menjadi populer dan banyak dibahas. Terlepas dari bagaimanapun konsep Poros Maritim Dunia dipahami, saat ini konsep tersebut memang seolah-olah terfokus pada pilar ke-2 (Ekonomi Maritim) dan pilar ke-3 (Konektivitas Maritim). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam aspek ekonomi-pun maritim menjadi sektor utama yang sedang didorong optimalisasi pemanfaatannya. Dengan kata lain, tidak hanya sebagai penopang kepentingan sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan, aktivitas komersiil yang ada di laut, pelabuhan dan sarana pendukungnya tentu memiliki potensi dalam menopang pembangunan perekonomian negara terutama dalam hal distribusi logistik.

Sektor logistik memainkan peran penting dalam pembangunan nasional dan peningkatan daya saing perdagangan dalam suatu negara. Sistem logistik yang dijalankan dengan baik dan efektif dapat menyebabkan jalur distribusi barang, jasa dan informasi dari titik pemberangkatan ke titik konsumsi menjadi lebih efisien. Sebaliknya sistem logistik yang buruk dapat mengurangi insentif dan nilai perdagangan. Tidak terkecuali pengguna jasa sektor logistik sebagai salah satu stakeholder yang pasti akan dirugikan. Dwelling time yang terlalu lama hingga praktik pungutan liar oknum merupakan persoalan yang membutuhkan perangkat kebijakan perlindungan konsumen, disamping kebijakan lain yang dibutuhkan.

Konsumen sebagai pengguna jasa, seringkali berada di pihak yang lemah. Konsumen menerima harga dan fasilitas yang telah ditentukan oleh penyedia jasa, dan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan penawaran terhadap pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Untuk itu, semua praktik usaha yang terkait dengan logistik yang bersifat tidak sehat harus dielimininasi. Ini menjadi semakin mendesak untuk dilakukan, terutama setelah Indonesia meratifikasi pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 yang salah satu bentuk kesepakatanya adalah GATS (General Agreement on Trade and Services). Dalam kerangka pasar bebas, jika industri jasa pelayaran inefisien dan tidak dapat bersaing secara sehat, maka seluruh rangkaian kegiatan yang terkait dengan industri ini akan menjadi inefisien. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dibentuk sebagai komitmen untuk mewujudkan tujuan efisiensi tersebut.

Penataan sektor logistik sudah semakin menjadi perhatian pemerintah, khususnya sejak Indonesia dan negara-negara ASEAN menandatangani Asean Sectoral Integration Protocol for the Logistic Services Sector pada Agustus 2007. Perjanjian tersebut berujung pada integrasi penuh dan liberalisasi dari sektor jasa logistik di ASEAN. Khusus pada aktivitas bisnis pelayaran yang merupakan salah satu penopang distribusi logistik di Indonesia, semangat untuk menciptakan yang sehat dimasukan ke dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Sebagaimana disebutkan dalam konsideranya, salah satu pertimbangan dibentuknya undang-undang ini adalah dalam rangka mengatur keikutsertaan pemerintah daerah dan pengusaha swasta untuk meningkatkan kinerja di sektor pelabuhan sehingga tercipta iklim persaingan usaha sehat yang tentu akan menghilangkan resiko biaya tinggi (high cost economy).

Efisiensi dalam struktur pelaku bisnis di pelabuhan merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, butuh kajian mengenai apa saja yang dapat dilakukan dalam upaya untuk menyusun arah kebijakan logistik yang tepat di Indonesia. Upaya ini penting sebagai langkah agar dapat meningkatkan peran maritim sebagai salah satu penopang distribusi logistik yang tentunya memiliiki pengaruh besar terhadap ekonomi negara.

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?