Prof. Wicipto Setiadi Sarankan Perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan dalam Acara Rapat Kerja Teknis, Penyusunan Rencana Kerja dan Evaluasi Layanan Direktorat Tata Negara
- Selasa, 17 Desember 2024
- HUMAS FH UPNVJ
- 0
Bogor, 16 Desember 2024 – Direktorat Tata Negara pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum Republik Indonesia menggelar kegiatan Rapat Kerja Teknis, Penyusunan Rencana Kerja dan Evaluasi Layanan Direktorat Tata Negara. Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa narasumber untuk membahas isu-isu strategis di bidang ketatanegaraan terkait partai politik, kewarganegaraan dan pewarganegaraan serta aspek regulasi dalam meningkatkan pelayanan. Guru Besar Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta, Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H. berkesempatan memberikan materi tentang “Kebijakan Deregulasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”.
Dalam paparannya, Prof. Wicipto menyampaikan tentang kondisi peraturan perundang-undangan di Indonesia baik dari segi kuantitas dan kualitas. “Dalam ruangan ini ada yang tahu berapa jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia? Lalu, berapa banyak peraturan yang tumpang tindih dan sudah dilakukan judicial review?”.
Berdasarkan kondisi peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, Prof Wicipto menawarkan penyederhanaan regulasi di Indonesia melalui deregulasi peraturan perundang-undangan. Deregulasi merupakan bentuk perampingan/penyederhananaan/simplikasi hukum atau peraturan (regulasi) yang bertujuan untuk mencapai suatu efektivitas dan efisiensi dari keberadaan regulasi.
Deregulasi di bidang Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dimulai dengan penataan kebijakan, pembenahan administratif, dan peningkatan transparansi. Prof Wicipto menyoroti substansi Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, khususnya berkaitan dengan isu dwi kewarganegaraan, pewarganegaraan (naturalisasi), dan perlindungan diaspora Indonesia. Berkaitan dengan masalah proses pewarganegaraan, Prof Wicipto menambahkan “mengapa akhir-akhir ini pemain sepak bola proses naturalisasinya cepat, padahal dahulu prosesnya butuh waktu 5-10 tahun.”
Nia Schumacher, salah satu peserta seminar dari Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) menceritakan kondisi diaspora yang menetap di luar negeri dan masih mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. Nia mendorong perubahan paradigma dwi kewarganegaraan penuh terhadap diaspora Indonesia. Dalam beberapa kasus, diaspora tidak segan-segan melepas kewarganegaraan Indonesia karena alasan pekerjaan, kesejahteraan, dan perlindungan negara. “Anak-anak hasil perkawinan campuran seringkali menikmati fasilitas seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan dari negara orang tua WNA-nya. Ini salah satu penyebab anak-anak memilih kewarganegaraan orang tua selain Indonesia.”
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menganut single citizenship meskipun sebetulnya mengenal dwi kewarganegaran terbatas pada anak hasil perkawinan campuran. Apakah batasan usianya mau ditambah atau mau dwi kewarganegaraan penuh? Prof Wicipto menyarankan perlunya perubahan undang-undang kewarganegaraan yang saat ini sudah masuk ke dalam long-list prolegnas 2025-2029. Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan harus dimaknai sebagai upaya menguatkan tanggung jawab negara dalam melindungi kepentingan warga negara. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan pembentuk undang-undang, yaitu pelibatan masyarakat yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atau menggunakan prinsip (meaningful participation) dalam proses perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.