Sidang pemeriksaan pengujian materiil frasa “Kemerdekaan Republik Indonesia” dalam Pasal 16 Huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (UU Keprotokolan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (4/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Sidang diahadiri oleh Para Pemohon, yakni Ir. Pranoto, M.M. yang berprofesi sebagai Dosen & Pemerhati Sejarah Indonesia dan Drs. Dwi Agung berprofesi sebagai Guru Sekolah Menengah Atas di Bojonegoro, didampingi Penasehat Hukumnya Dr. Heru Sugiyono, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta bersama dengan Dr. Teguh  Hartono, S.H., M.H.; M.Agus Awalus Shoim, S.H., M.Phil; Agus Winarto, S.H., M.H; Singgih Tomi Gumilang, S.H., M.H; dan Amodra Mahardika P.W., S.H.

Agenda sidang kali ini yakni mendengarkan keterangan dua Ahli yang diajukan Para Pemohon, yakni Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. ( Ahli Tata Negara) dan Nazarudin, S.Hum, MA (Ahli Bahasa) serta dua saksi yaitu Ir. Haryo Soemantri  dan Joko Herwanto, S.Sos.

Taufiqurrohman Syahuri yang merupakan Associate Professor Hukum Kenegaraan UPN Veteran Jakarta, mengatakan kata “Republik” dalam anak kalimat “Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Dalam UU Keprotokolan ini tidak sesuai dengan fakta sejarah.

Menurutnya, jika kata “Republik” dalam anak kalimat di UU Keprotokolan tersebut dikaitkan dengan anak kalimat dalam UU Lambang Negara, yakni kata “Bangsa” dalam anak kalimat “Proklamasi Kemerdekaan Bangsa”, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sementara kepastian hukum merupakan hak setiap orang.

Selain itu, jika kata “Republik” tersebut tidak dihapus maka kerugian konstitusional para pemohon dan juga seluruh anak bangsa akan tetap terjadi. Hal ini mengingat kata “Republik” dimaksud dalam UU Keprotokolan ahistoris dan bertentangan dengan ilmu.

Berita Terkait :  Untuk yang ketiga kalinya, Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H. Guru Besar FH UPNVJ Menjadi Narasumber dalam Legislative Dratfing Training yang diselenggarakan oleh Jimly School of Law and Government

Sedangkan Ahli lainnya adalah Nazarudin, menyampaikan Negara: Lebih bersifat yuridis dan politis, menekankan pada aspek kekuasaan dan wilayah. Bangsa: Lebih bersifat sosio-kultural, menekankan pada aspek identitas dan kesamaan. Republik: Lebih bersifat politis, menekankan pada bentuk pemerintahan dan hubungan antara penguasa dan rakyat.

Nazarudein menambahkan, Negara adalah rumah kita secara politis, sedangkan Bangsa adalah keluarga besar kita secara kultural, Adapun Republik adalah bentuk pemerintahan kita yang dipilih oleh rakyat.

Pada kesempatan yang sama, MK juga mendengarkan keterangan dua orang saksi yang dihadirkan Para Pemohon. Harjo Soemantri menjelaskan, ia turut serta bersama Organisasi Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia Yang Dijiwai Manunggalnya Keimanan dan Kemanusiaan.

“Pada saat penandatanganan petisi “Kemerdekaan Bangsa Indonesia” tanggal 14 Dhulqodah 1437 (18-08-2016) pada acara Tasyakkuran Ke-71 Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia di Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah pada 18 Agustus 2016 yang dibacakan oleh Joko Herwanto, S.Sos (Ketua DPW Organisasi Shiddiqiyyah Jawa Timur),” terangnya.

Ia menyebut, penandatanganan pertama diberikan oleh Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah, kemudian disusul Bupati Jombang, Ketua DPRD Jombang, Ketua Umum Dhibra Pusat, Ketua Umum DPP Opshid, Wakil Ketua DPP Orshid, Dra. Fatwahariwati (Ketua JKPH Pusat), Sekjen DPP PCTAI, Forum Kholifah Shiddiqiyyah, dan Hartono Tanojo (Tokoh Agama Konghucu).

Menurut Harjo, petisi tersebut berisi tiga usulan kepada Pemerintah Republik Indonesia Pusat di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo yaitu berkenan untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang penggunaan istilah Kemerdekaan Bangsa Indonesia dalam setiap peringatan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus. Kemudian, mensosialisakan Keppres tersebut di lingkungan pemerintahan di semua tingkatan dan masyarakat pada umumnya. Dalam petisinya tersebut, terdapat harapan dengan terbitnya Keppres tersebut sehingga sudah tidak akan ada lagi penyebutan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Berita Terkait :  Rapat Koordinasi Pembukaan Program Studi Hukum Bisnis Program Sarjana Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta

Selain petisi, saksi juga menerangkan ikut serta dalam Seminar Kebangsaan dengan tema “Kembali Kejati Diri Bangsa Indonesia, Merajut Perdamaian Nusantara” di Wisma Perdamaian Provinsi Jawa Tengah pada hari Minggu, 07 Juli 2019 dan menghasilkan Rekomendasi yang pada intinya memohon untuk “Mengembalikan Frasa Kemerdekaan Republik Indonesia menjadi Kemerdekaan Bangsa Indonesia sesuai dengan Teks Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan, saksi Joko Herwanto menceritakan bahwa ia menginisiasi dan menghadiri Focus Grup Discussion di kabupaten Jombang pada 10 Januari 2024 dengan tema “Mengembalikan Frasa Kemerdekaan Republik Indonesia menjadi Kemerdekaan Bangsa Indonesia sesuai dengan Teks Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 dan 19 Agustus 1945 berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Acara FGD di hadiri dari unsur Pemerintah Kabupaten Jombang, akademisi, budayawan, sejarawan, dan organisasi masyarakat di Kabupaten Jombang. Hasil kesepakatan, bahwa 17 Agustus 1945 adalah kemerdekaan Bangsa Indonesia dan 18 Agustus 1945 adalah berdirinya NKRI.

Selanjutnya, saksi menginisiasi dan menghadiri Focus Grup Discussion di Pontianak pada 23 Januari 2024 dengan tema “Mengembalikan Frasa Kemerdekaan Republik Indonesia menjadi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, sesuai dengan Teks Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 dan 19 Agustus 1945 berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Acara FGD di hadiri dari unsur Pemerintah Provinsi Kalbar, Polda Kalbar, akademisi, budayawan, sejarawan, dan 22 organisasi masyarakat di Pontianak. Hasil sepakat bahwa 17 Agustus 1945 adalah kemerdekaan Bangsa Indonesia dan 18 Agustus 1945 adalah berdirinya NKRI,” terang Joko.

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?