Menguak Tantangan Penegakan Hak Cipta di Industri Musik Tanah Air
- Rabu, 7 Mei 2025
- HUMAS FH UPNVJ
- 0


Salah satu tantangan utama pelaksanaan hak cipta adalah mekanisme lisensi, seperti diatur Pasal 80 dan Pasal 81 UU Hak Cipta. Lisensi menjadi instrumen hukum yang memungkinkan penggunaan karya cipta dengan tetap menghormati hak eksklusif pencipta atau pemegang hak terkait. Pemahaman komprehensif mengenai hak-hak dalam UU Hak Cipta menjadi krusial, terutama bagi pelaku industri kreatif.
Hak cipta sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual memiliki peranan yang sangat penting dalam melindungi karya cipta seseorang. Dalam konteks ini, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) menegaskan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak eksklusif ini adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta. Seperti yang diungkapkan dalam Teori Personality (Personality Theory).
Menurut Hegel, karya cipta merupakan perwujudan kepribadian pencipta. Hak moral dalam UU Hak Cipta mencerminkan perlindungan terhadap hubungan emosional dan identitas pencipta dengan karyanya. Namun, dalam praktiknya, pemegang hak cipta yang bukan pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif tersebut, berupa hak ekonomi. Implementasi dari hak eksklusif ini terutama berkaitan dengan penarikan royalti bagi pencipta atau pemegang hak cipta.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan turunan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (PP Royalti Lagu). Dalam Pasal 12 PP Royalti Lagu, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) diberi mandat untuk menarik royalti dari pihak yang menggunakan lagu atau musik secara komersial. LMKN juga menarik royalti baik bagi pencipta, pemegang hak cipta, maupun pemilik hak terkait yang belum menjadi anggota lembaga manajemen kolektif tertentu.
Dalam ranah internasional, dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hak ekonomi dalam industri musik, seperti mechanical rights, synchronization rights, dan performing rights. Mechanical rights adalah hak pencipta dan penerbit musik untuk menerima pembayaran ketika sebuah karya musik disalin dan didistribusikan, baik dalam bentuk fisik maupun digital. Synchronization rights adalah hak untuk menggunakan karya musik dalam media audiovisual seperti film atau video, yang memerlukan persetujuan pencipta. Sedangkan performing rights adalah hak untuk memperdengarkan atau menampilkan karya musik di ruang publik, yang biasanya dikelola oleh lembaga manajemen kolektif.
Ketiga hak tersebut belum diatur secara eksplisit dalam hukum positif Indonesia. Namun, secara logika hukum hak tersebut melekat pada hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta, khususnya hak ekonomi. Asas hukum pacta sunt servanda yang berarti bahwa perjanjian harus dihormati, menjadi landasan penting dalam pelaksanaan hak cipta. Selain itu, teori utilitarianisme dalam hak kekayaan intelektual juga relevan, di mana perlindungan hak cipta bertujuan untuk mendorong inovasi dan kreativitas demi manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Menghormati Hak Moral dan Hak Ekonomi Pencipta
Kasus pelanggaran hak cipta dalam industri musik Indonesia semakin sering menjadi sorotan. Pada tahun 2017, polemik terjadi terkait lagu “Akad” milik Payung Teduh, di mana Hanin Dhiya mengunggah versi cover lagu tersebut di YouTube tanpa izin resmi. Versi cover ini bahkan meraih jumlah penonton yang melebihi video resmi Payung Teduh, dan juga dipublikasikan di berbagai layanan streaming dengan potensi keuntungan komersial yang signifikan. Tindakan ini merupakan bentuk pelanggaran mechanical rights dan synchronization rights karena reproduksi dan distribusi dilakukan tanpa persetujuan pencipta.
Salah satu tantangan utama pelaksanaan hak cipta adalah mekanisme lisensi, seperti diatur Pasal 80 dan Pasal 81 UU Hak Cipta. Lisensi menjadi instrumen hukum yang memungkinkan penggunaan karya cipta dengan tetap menghormati hak eksklusif pencipta atau pemegang hak terkait. Pemahaman komprehensif mengenai hak-hak dalam UU Hak Cipta menjadi krusial, terutama bagi pelaku industri kreatif.
Isu serupa juga mencuat pada awal 2021 ketika PT Digital Rantai Maya menggugat platform media sosial TikTok dan perusahaan induknya, ByteDance, atas dugaan pelanggaran hak cipta lagu milik Virgoun Teguh Putra. TikTok dituduh melakukan reproduksi dan distribusi lagu tanpa lisensi resmi, serta menggunakan lagu tersebut sebagai latar dalam konten video tanpa izin pencipta. Gugatan ini menunjukkan bahwa pelanggaran hak cipta dalam distribusi musik digital masih menjadi tantangan besar di era platform streaming dan media sosial.
Kasus pelanggaran performing rights juga kerap terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah perseteruan antara Ahmad Dhani dan Once Mekel terkait pembawaan lagu-lagu Dewa 19 tanpa izin pencipta. Meski Once pernah menjadi vokalis band tersebut, hak cipta atas lagu-lagu Dewa 19 tetap menjadi milik Ahmad Dhani sebagai pencipta. Kasus serupa terjadi antara Agnez Mo dan Ari Bias, di mana Agnez Mo dinyatakan bersalah karena membawakan lagu “Bilang Saja” tanpa izin penciptanya dalam sebuah konser. Sengketa ini semakin mempertegas pentingnya pemahaman dan kepatuhan terhadap performing rights dalam penggunaan karya musik secara komersial.
Regulasi mengenai hak cipta di Indonesia juga mengatur pembatasan hak cipta melalui Pasal 41 hingga Pasal 51 UU Hak Cipta. Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan hak cipta adalah mekanisme lisensi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 80 dan Pasal 81 UU Hak Cipta. Lisensi menjadi instrumen hukum yang memungkinkan penggunaan karya cipta dengan tetap menghormati hak eksklusif pencipta atau pemegang hak terkait. Untuk itu, pemahaman yang komprehensif mengenai hak-hak dalam UU Hak Cipta menjadi krusial, terutama bagi pelaku industri kreatif. Dengan menghormati hak moral dan hak ekonomi pencipta, kita tidak hanya mendukung pelindungan hukum atas karya intelektual, tetapi juga mendorong terciptanya ekosistem kreatif yang sehat dan berdaya saing.
*) Rianda Dirkareshza, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
Telah diterbitkan pada : https://www.hukumonline.com/berita/a/menguak-tantangan-penegakan-hak-cipta-di-industri-musik-tanah-air-lt67c7fc9ce207a/?page=2