Diskursus penataan ulang sistem checks and balances dalam proses legislasi di Indonesia bukan sekadar wacana akademik, melainkan kebutuhan sistemik untuk memperbaiki kualitas demokrasi konstitusional kita. Untuk itu, reformasi peran DPD, baik melalui jalur amendemen konstitusi maupun reinterpretasi yudisial langkah penting menuju sistem legislatif yang lebih sehat dan berkualitas.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, prinsip checks and balances seharusnya menjadi salah satu fondasi utama dalam menjaga distribusi kekuasaan negara. Prinsip ini meniscayakan adanya relasi yang saling mengawasi dan mengimbangi antar cabang kekuasaan sebagaimana diyakini oleh Montesquieu dalam doktrin trias politica yakni pembagian kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun dalam praktiknya, penerapan prinsip tersebut di Indonesia masih belum sepenuhnya utuh, terutama dalam ranah kekuasaan legislatif.
Indonesia memang telah menganut sistem bikameral dalam struktur lembaga legislatifnya sejak amendemen UUD 1945 dengan keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meski demikian, sistem ini seringkali disebut sebagai soft bicameralism karena ketimpangan nyata dalam hal kewenangan antara kedua kamar. DPR memiliki dominasi penuh dalam proses legislasi, sementara peran DPD bersifat terbatas dan konsultatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana sistem dua kamar ini benar-benar mencerminkan prinsip keseimbangan kekuasaan?

Dominasi Kekuasaan Legislatif
Secara konstitusional, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa pembentukan undang-undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden. DPD, meskipun sejajar secara lembaga, tidak memiliki hak yang setara dalam proses pembentukan undang-undang secara umum. Kewenangan DPD dibatasi hanya pada pengajuan, pembahasan, dan pemberian pertimbangan terhadap rancangan undang-undang tertentu, khususnya yang menyangkut otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta isu-isu kewilayahan lainnya.

Dalam praktiknya, pembahasan rancangan undang-undang masih didominasi oleh DPR dan Presiden, tanpa keterlibatan efektif dari DPD. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, setiap lembaga legislatif seharusnya dapat menjalankan fungsi pengawasan internal yang saling mengimbangi satu sama lain. Ketiadaan mekanisme “veto balik” atau hak penolakan dari DPD terhadap RUU yang dibahas membuat proses legislasi menjadi terpusat pada satu kekuatan yakni DPR.

Kondisi ini berbeda dengan praktik di negara-negara lain yang menganut sistem bikameral. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan strong bicameralism, di mana Senat dan House of Representatives memiliki peran setara dalam menyusun dan mengesahkan rancangan undang-undang. Setiap RUU harus disetujui oleh kedua kamar sebelum dikirim ke Presiden. Bahkan, jika Presiden menggunakan hak vetonya, Kongres masih dapat mengesahkan RUU tersebut dengan dukungan dua pertiga suara dari kedua kamar.

Berita Terkait :  Selamat Memperingati Isra Mi'Raj Nabi Muhammad SAW 27 Rajab 1446 Hijriah

Di Rusia, sistem medium-strong bicameralism juga menunjukkan keseimbangan relatif antara State Duma (majelis rendah) dan Federation Council (majelis tinggi). Federation Council memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak rancangan undang-undang dari State Duma. Penolakan ini dapat dianulir oleh voting dua pertiga di State Duma, sehingga tercipta dinamika pengawasan timbal balik yang substansial dalam pembentukan hukum.

Tantangan Checks and Balances di Indonesia
Ketiadaan kekuasaan penyeimbang dalam tubuh legislatif di Indonesia berdampak pada kualitas legislasi. Berdasarkan catatan Mahkamah Konstitusi, sejak lembaga ini berdiri hingga tahun 2023, terdapat lebih dari 1.700 permohonan uji materiil dan formil atas undang-undang yang disahkan DPR dan Presiden. Lonjakan permohonan uji materiil ini menggambarkan bahwa kontrol kualitas internal dalam proses legislasi masih lemah dan belum mampu mencegah lahirnya peraturan yang berpotensi inkonstitusional.

Mahkamah Konstitusi memang memiliki peran sebagai pengawas yudisial (judicial review) atas produk legislasi. Namun, pengawasan oleh lembaga yudikatif bersifat represif dan hanya dapat dilakukan setelah undang-undang diberlakukan. Dalam konteks ini, semestinya perlu ada penguatan pengawasan preventif dari dalam tubuh lembaga legislatif itu sendiri. Salah satunya adalah dengan meninjau ulang kewenangan DPD agar dapat berfungsi sebagai “kamar penyeimbang” dalam proses pembentukan hukum nasional.

Tentu saja penguatan ini bukan semata-mata demi memperbesar peran DPD, melainkan untuk menciptakan sistem pengawasan internal yang lebih efektif. DPD yang anggota-anggotanya dipilih secara independen tanpa afiliasi partai politik, memiliki potensi untuk menghadirkan suara alternatif di tengah dominasi koalisi politik dalam tubuh DPR. Dalam teori politik modern, kehadiran lembaga non-partisan dalam proses legislasi bisa berperan sebagai checkpoint terhadap kepentingan oligarkis dan partisan yang kerap membayangi keputusan legislatif.

Menuju Sistem Dua Kamar yang Seimbang
Untuk membangun sistem checks and balances yang lebih utuh dalam proses legislasi Indonesia, ada dua opsi strategis yang dapat ditempuh. Pertama, amendemen konstitusi untuk merevisi Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) agar mencantumkan DPD sebagai pihak yang terlibat dalam persetujuan undang-undang. Konsekuensi dari amendemen ini adalah keharusan DPR dan DPD bekerja bersama secara setara dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang, tidak hanya dalam isu sektoral tertentu.

Kedua, jika opsi amendemen konstitusi dianggap terlalu berat secara politik, maka jalur alternatif adalah dengan melakukan pengujian yudisial terhadap undang-undang yang mengatur kewenangan DPD, seperti UU MD3. Mahkamah Konstitusi dapat diminta untuk menafsirkan secara progresif dan ekstensif pasal-pasal terkait agar membuka ruang lebih luas bagi partisipasi DPD dalam pembahasan semua jenis RUU. Langkah ini pernah ditempuh dalam isu lain, seperti perluasan tafsir terhadap hak warga negara dalam judicial review sebelumnya.

Berita Terkait :  Transformasi Digital untuk Generasi Bangsa yang Paripurna

Tentu saja, perluasan kewenangan DPD harus diiringi dengan penguatan kapasitas internal lembaga tersebut, termasuk sistem pendukung legislasi, kajian akademik, serta komunikasi politik. Keseimbangan kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh struktur normatif, tetapi juga oleh kualitas aktor dan institusi yang mengisi ruang tersebut.

Penguatan Peran Yudikatif
Dalam sistem checks and balances yang ideal, tidak hanya lembaga legislatif yang harus saling mengimbangi, tetapi juga keterlibatan kekuasaan yudikatif sebagai pengawas konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus tetap diberi ruang yang luas untuk mengoreksi produk legislasi, terutama jika ada pelanggaran prinsip-prinsip konstitusional dan hak-hak dasar warga negara. Penguatan MK sebagai the guardian of constitution juga harus dibarengi dengan transparansi dan akuntabilitas putusan agar kepercayaan publik terhadap lembaga ini tetap terjaga.

Namun, perlu dicatat bahwa kekuasaan yudikatif bersifat pasif artinya hanya dapat bertindak jika ada permohonan. Oleh karena itu, memperbaiki proses pembentukan undang-undang dari hulu tetap menjadi prioritas. Kehadiran sistem dua kamar yang seimbang dapat memperkecil kemungkinan lolosnya undang-undang yang cacat formil atau materil, sehingga beban pengujian konstitusional dapat dikurangi.

Penutup
Diskursus tentang penataan ulang sistem checks and balances dalam proses legislasi di Indonesia bukan sekadar wacana akademik, melainkan kebutuhan sistemik untuk memperbaiki kualitas demokrasi konstitusional kita. Tanpa mekanisme pengawasan internal yang kuat dalam tubuh legislatif, pembentukan hukum akan terus dikuasai oleh kekuatan mayoritas yang rentan terhadap dominasi politik praktis. Situasi ini bertentangan dengan cita hukum Indonesia sebagai negara hukum demokratis yang menjunjung prinsip keterwakilan dan keseimbangan kekuasaan.

Reformasi peran DPD, baik melalui jalur amendemen konstitusi maupun reinterpretasi yudisial adalah langkah penting menuju sistem legislatif yang lebih sehat dan berkualitas. Sebab, dalam negara demokrasi yang matang, kekuasaan yang tidak diawasi adalah jalan lempang menuju penyalahgunaan wewenang.

*) Rianda Dirkareshza, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

Telah diterbitkan pada : https://www.hukumonline.com/berita/a/menata-ulang-checks-and-balances-dalam-sistem-legislasi-indonesia-lt682a12fb61d4b/?page=3

Share

Contact Us

×