Pada Senin, 22 April 2024, sehubungan dengan perayaan Dies Natalis Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta yang ke-24, Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta menyelenggarakan The 6th National Conference On Law Studies (NCOLS) yang mengangkat tema “Peran Perguruan Tinggi Dalam Aktualisasi Bela Negara melalui Perumusan Kebijakan Sektor Lingkungan Hidup Dalam Pencapaian SDGs”, yang mengundang sejumlah pakar dan praktisi di bidang terkait, salah satunya adalah Leonard Simanjuntak, Country Director for Indonesia Greenpeace.

Dalam seminar ini, Leonard Simanjuntak menyampaikan materi yang lebih spesifik membahas tentang krisis iklim yang membutuhkan respon kebijakan yang kuat dan tegas. Mengangkat beberapa dampak krisis iklim yang terjadi seperti pencairan es di kutub utara, gletser carstensz pyramid glacier yang mulai lenyap, serta curah hujan ekstrim dan banjir masif, yang menunjukan bahwa meningkatnya jumlah yang sudah melewati safety threshold (batas selamat) yang dimiliki oleh bumi, serta krisis iklim kita yang terus memburuk.

Indonesia yang termasuk dalam 8 emitter global terbesar, memiliki peran yang besar dalam memburuknya krisis iklim, karena ketergantungannya terhadap batu bara. Oleh karena itu, dibentuklah Just Energy Transition Partnership (JETP) yang merupakan upaya berbagai negara maju untuk membantu Indonesia dalam mempercepat transisi energinya, namun masih lambat sekali sebab masih banyaknya tantangan. Selain Indonesia, beberapa negara lain yang memiliki faktor atau isu yang signifikan dalam isu krisis iklim adalah pemilihan presiden AS yang tidak percaya akan krisis iklim yang menyebabkan kemungkinan besar dalam dekadensi komitmen AS terhadap iklim, serta hipokrisi China dalam perubahan iklim.

Berita Terkait :  Mensamakan Persepsi terkait Magang, Tim MBKM FH UPNVJ melakukan Rapat MBKM

Sebaliknya, European Union (EU) dianggap sebagai yang terdepan dalam menghadapi krisis iklim yang sedang terjadi, salah satunya dengan keputusan untuk mempunyai target reduksi karbon dari 40% ke 55% pada 2030, menetapkan akan mencapai Zero Net emission pada tahun 2050, serta kepemimpinan EU sangat penting untuk memenuhi target Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim.

Indonesia harus menargetkan penurunan emisi 43,2% karena ada cukup banyak program bantuan internasional yang diterima, dan sebagai salah satu dari 10 emitter terbesar di dunia, maka sangat penting untuk Indonesia menunjukkan kepemimpinan iklim yang kuat. Namun, masih ada beberapa tantangan, diantaranya adalah emisi karbon Indonesia yang terus meningkat, deforestasi hutan, dominasi batu bara pada sektor kelistrikan Indonesia, besarnya energi terbarukan dengan pemanfaatan yang sedikit, subsidi pada energi fosil, dan RUU EBT yang tidak mencerminkan urgensi mengatasi krisis iklim, ungkap Leonard Simanjuntak

Berita Terkait :  Forum Riset dan Debat Mahasiswa FH UPNVJ Laksanakan Company Visit ke Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Sebagai upaya mengatasi krisis iklim, Indonesia seharusnya merubah arah perkembangan ekonomi agar lebih hijau dengan percepatan transisi energi menuju dominasi energi terbarukan, insentif masif kepada investasi hijau, subsidi masif kepada energi terbarukan, dan lainnya. Selain itu membuat UU yang merespon kepada krisis iklim, menghentikan deforestasi dan konversi lahan gambut secara permanen, membuat masa depan yang baru bagi Jakarta, Bali, dan Tanah Papua agar menjadi lebih hijau, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dan bisnis untuk mengatasi krisis iklim.

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?