Kurikulum AI dan Ancaman Kekayaan Intelektual
- Kamis, 12 Juni 2025
- HUMAS FH UPNVJ
- 0


PERNYATAAN Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang berkali-kali menyebutkan akan memasukkan materi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah menarik dikaji. Tak hanya dari aspek teknologi pendidikan, melainkan juga dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia.
Integrasi AI dalam pendidikan memang sejalan dengan perkembangan global. Namun pertanyaannya: sejauh mana urgensi, kesiapan, dan dampak kebijakan ini terhadap daya pikir serta kekayaan intelektual anak-anak sebagai makhluk biologis?
Penggunaan AI dalam pendidikan idealnya membantu proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan adaptif. Namun penerapannya pada tingkat dasar dan menengah, yang merupakan fase krusial pembentukan karakter serta nalar manusia, mengandung risiko jangka panjang. Anak-anak yang belum mencapai fase kematangan kognitif dan moral berisiko menjadi terlalu bergantung pada sistem otomatis. Hal ini pada akhirnya bisa melemahkan daya pikir kritis, daya cipta, dan imajinasi mereka.
Ketergantungan pada sistem pintar juga dapat menciptakan generasi yang mengalami “kebisingan digital” (digital noise), yakni menghadapi banjir informasi instan tanpa kemampuan menyaring, mengolah, dan menciptakan pengetahuan secara mandiri. Inilah ancaman diam-diam terhadap esensi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia.
Wacana integrasi kecerdasan buatan ke dalam kurikulum pendidikan formal, terutama pada jenjang dasar dan menengah, juga patut dikritik dari aspek hukum. Indonesia sejatinya memiliki kerangka regulasi yang kokoh dalam melindungi hasil cipta, rasa, dan karsa manusia melalui sejumlah undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual.
Berbagai regulasi itu antara lain Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
Semua regulasi ini secara eksplisit menempatkan manusia sebagai satu-satunya subyek hukum atas karya intelektual. Dalam Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta, misalnya, disebutkan jelas bahwa pencipta adalah “seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”. Dalam UU Paten, Pasal 1 angka 3 menyebutkan inventor adalah individu atau sekelompok orang yang melaksanakan ide hingga menghasilkan invensi.
Demikian pula dalam UU Desain Industri yang menyebut pendesain sebagai individu atau sekelompok orang yang menciptakan desain industri. UU Perlindungan Varietas Tanaman bahkan menegaskan bahwa pemulia adalah manusia yang secara aktif melakukan proses pemuliaan tanaman. Sementara itu, UU Merek dan Indikasi Geografis mengakui hak kolektif masyarakat adat atas pengetahuan lokal serta ekspresi budaya tradisional, sesuatu yang tidak dapat diatribusikan kepada entitas non-manusia seperti AI.
Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, muncul pertanyaan mendasar tapi belum terjawab secara yuridis: apabila seorang siswa menghasilkan karya dengan bantuan AI, siapa yang memiliki hak cipta, hak paten, atau secara umum hak eksklusif atas karya tersebut? Apakah siswa sebagai pengguna, guru sebagai pembimbing, institusi pendidikan sebagai fasilitator, atau justru perusahaan pengembang AI?
Ketidakjelasan ini menunjukkan adanya kekosongan hukum yang sangat mungkin menimbulkan sengketa di masa mendatang sekaligus mengaburkan prinsip dasar bahwa intelektualitas merupakan warisan biologis manusia yang harus dilindungi.
Jika kita membiarkan generasi muda terlalu dini bersandar pada kecerdasan buatan, secara tidak langsung kita sedang menggerus basis hukum yang menjamin orisinalitas karya, inovasi, dan kreativitas individu. Tanpa kemampuan mengembangkan gagasan autentik, sulit membayangkan munculnya pemegang hak cipta, inovator paten, perancang desain industri, atau pemulia tanaman yang berkontribusi pada perlindungan varietas tanaman dan indikasi geografis.
Dalam merumuskan kebijakan publik, hukum mengenal prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Asas ini menekankan, apabila suatu tindakan atau kebijakan berpotensi menimbulkan kerugian serius, langkah preventif harus diambil, bahkan ketika bukti ilmiah yang konklusif belum tersedia. Prinsip ini semestinya menjadi fondasi dalam menyusun kebijakan integrasi kecerdasan buatan ke dalam dunia pendidikan, khususnya pada jenjang dasar dan menengah.
Alih-alih terburu-buru mengadopsi teknologi yang belum sepenuhnya dipahami dampaknya, pemerintah semestinya mengambil langkah yang lebih bijaksana. Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh antara lain melakukan pengkajian akademik lintas disiplin untuk memahami secara holistik dampak AI dalam konteks pendidikan Indonesia serta mengukur potensi dampak sosial, hukum, dan psikologis terhadap peserta didik.
Hal yang juga harus dilakukan adalah meningkatkan literasi digital serta literasi hukum di kalangan guru dan siswa agar penggunaan AI tidak justru menimbulkan ketergantungan. Kerangka etik penggunaan AI di ruang kelas juga harus diarahkan agar teknologi ini benar-benar menjadi alat bantu, bukan aktor dominan yang menggantikan kreativitas manusia.
Dalam konteks inilah, kehati-hatian bukan berarti menolak inovasi, melainkan memastikan kebijakan yang dilahirkan benar-benar berpihak pada perlindungan martabat intelektual manusia. Penggunaan kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan seharusnya tidak diarahkan untuk menggantikan peran manusia, melainkan memperkuat sistem pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan.
AI idealnya diposisikan sebagai alat bantu, bukan sebagai subyek utama. Pendidikan harus tetap menempatkan manusia sebagai pusat proses penciptaan ilmu pengetahuan, bukan sebagai pengguna pasif dari sistem pintar yang bekerja secara algoritmik. Hal ini menjadi sangat krusial, terlebih Indonesia sedang menikmati bonus demografi yang, jika dikelola dengan tepat, dapat menjadi pilar kekuatan bangsa dalam menghadapi era disrupsi teknologi.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemahaman dan kemampuan guru dalam memanfaatkan teknologi AI masih belum merata. Tanpa pelatihan yang menyeluruh dan terstandardisasi di seluruh wilayah Indonesia, risiko kesalahan penggunaan atau bahkan penyalahgunaan AI sebagai alat bantu pendidikan sangat besar.
Ketimpangan digital dan kompetensi yang tidak seragam justru dapat memperbesar kesenjangan pendidikan antarwilayah. Maka pelatihan komprehensif bagi pendidik mutlak diperlukan sebelum AI diintegrasikan ke dalam kurikulum secara nasional.
Pendidikan berbasis AI bukanlah jalan pintas menuju kemajuan. Pendidikan ini harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian, dilandasi filosofi pendidikan yang memuliakan martabat manusia, serta berpijak pada prinsip-prinsip hukum yang menjunjung tinggi hak cipta dan kekayaan intelektual. Tanpa itu semua, kita berisiko melahirkan generasi yang canggih secara teknologi, tapi kehilangan jati diri sebagai manusia merdeka dalam berpikir dan berkarya.
*) Rianda Dirkareshza, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
Telah diterbitkan pada : https://www.tempo.co/kolom/ai-dan-kekayaan-intelektual-1643244