Jerat Pidana Rumah Sakit Penyelenggara PPDS
- Rabu, 16 April 2025
- HUMAS FH UPNVJ
- 0


Kasus bius dan perkosa oleh dokter mahasiswa residen anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran di RSUP Hasan Sadikin (RSHS) Bandung tak hanya mencoreng dunia pendidikan dokter spesialis, tetapi juga membuat murka masyarakat.
Bayangkan, pasien memberikan kepercayaan 100 persen demi kesembuhan diri atau keluarganya, tetapi dikhianati oleh dokter RS dengan tindakan biadab dan merendahkan harkat martabat kemanusiaan pasien dan keluarganya: dibius dan dalam keadaan tak berdaya diperkosa oleh dokter.
Kepercayaan penuh pasien (dan keluarganya) kepada dokter ini karena masih kuatnya pola hubungan paternalistik antara dokter dan pasien, layaknya hubungan atasan-bawahan karena dokter dianggap pintar dan pasiennya bodoh.
Akibatnya, tak jarang dokter melakukan tindakan medis tanpa informasi memadai kepada pasien. Sangat wajar jika DPR meminta RSHS bertanggung jawab. Dokter PPDS bejat seperti ini wajar dituntut pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Masih segar di ingatan kita kasus dugaan bullying berujung bunuh diri yang dialami almarhumah Aulia Risma Lestari, dokter PPDS RS dr Kariadi, Semarang. Perundungan plus pungli juga terjadi di lingkungan PPDS Universitas Sam Ratu langi Manado, RSHS Bandung, RSCM Jakarta, dan RSUP Haji Adam Malik Medan.
Sanksi atau hukuman atas kasus-kasus perundungan ini bermacam-macam, tetapi hanya dibebankan kepada dosen/staf medis dan para dokter mahasiswa PPDS. Bagaimana tanggung jawab RS terhadap kasus-kasus hukum yang melibatkan dokter mahasiswa PPDS?
Pembebanan saksi hukum kepada mahasiswa PPDS atau dosen PPDS tak akan memberikan efek jera dan pembelajaran guna melindungi pasien. Pada kasus seperti ini, RS wajib demi hukum bertanggung jawab, baik secara perdata maupun pidana, atas perbuatan yang dilakukan SDM-nya, termasuk dokter PPDS.
Tanggung jawab RS
Isi Pasal 193 UU No 17/ 2023 singkat, padat, dan jelas: ”Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh sumber daya manusia (SDM) kesehatan rumah sakit”. Tak mudah menyalahkan RS pemerintah karena bukan badan hukum, melainkan badan layanan umum (BLU) yang bersifat nirlaba.
Statusnya sebagai artificial person BLU mempersulit pertanggungjawaban RS atas tindak pidana di lingkungan RS BLU, walau secara yurisprudensi, RS pemerintah bisa digugat perdata atau dituntut pidana dengan sanksi pembayaran ganti rugi atau denda. Namun, bukan berarti RS pemerintah kebal hukum.
Perlu jalan terjal untuk dapat memidana RS pemerintah (sebagai instansi, bukan diwakili pimpinannya). Diperlukan pembuktian lebih dulu apakah RS pemerintah telah melaksanakan tata kelola RS secara baik (good corporate governance/GCG) agar unsur pimpinan atau manajemen dapat perlindungan hukum (the corporate veil).
Sebaliknya, jika lalai atau gagal menjalankan GCG, tabir perlindungan hukum itu menjadi tersingkap, dan RS beserta unsur pimpinannya bisa dikenai sanksi pidana melalui tiga tahapan. Pertama, tahap pemeriksaan area perdata, apakah sudah dipenuhi prinsip-prinsip GCG.
Kedua, area abu-abu. Jika terbukti tak melaksanakan GCG, di tahap ini RS bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jika merugikan kepentingan publik atau masyarakat. Tahap ini menjadi awal mulai mencari bukti permulaan yang cukup untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana. Ketiga, area pidana, mensyaratkan adanya perbuatan pidana (actus reus) dan pertanggungjawaban pidana (mens rea) untuk melakukan pemidanaan.
Pada kasus dokter anestesi PPDS RSHS, salah satu unsur GCG yang tak dipenuhi adalah kelalaian RS melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam bertindak (corporate prudential principal/duty of care) yang diamanatkan dengan tegas di Pasal 184 Ayat (4) UU Kesehatan di mana RS harus menyelenggarakan tata kelola RS dan klinis yang baik.
Untuk mewujudkan duty of care itu, RS wajib antara lain memberikan informasi yang benar tentang pelayanan RS ke masyarakat, memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien dan kewajiban lain seperti diatur di Pasal 189 Ayat (1) UU Kesehatan.
Lalu, bagaimana dengan tanggung jawab hukum universitas penyelenggara PPDS dan juga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) selaku instansi atasan RS pemerintah?
Kedua entitas ini tentu tak serta-merta bebas dari tanggung jawab hukum hanya dengan tindakan memberikan peringatan ke RS pemerintah, menskors dokter senior, atau memberhentikan pendidikan dokter PPDS.
Kedua instansi ini bisa dimintai pertanggung jawaban hukum, perdata ataupun pidana melalui mekanisme implementasi teori pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) bagi Kemenkes dan delik penyertaan Pasal 55 KUHP bagi universitas penyelenggara PPDS.
Handoyo Prasetyo
Dosen Konsentrasi Hukum Pidana Korporasi – Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta
Telah diterbitkan pada :
https://www.kompas.id/artikel/jerat-pidana-rumah-sakit-penyelenggara-ppds?open_from=Tagar_Page