Jaksa sebagai Dominus Litis: Pelengkap atau Pengendali Perkara ?
- Senin, 17 Februari 2025
- HUMAS FH UPNVJ
- 0


Konsep Dominus Litis berasal dari bahasa Latin yang berarti “penguasa perkara” atau “pihak yang mengendalikan jalannya perkara.” Dalam sistem hukum pidana, istilah ini merujuk pada pihak yang memiliki kewenangan utama dalam menentukan apakah suatu perkara dapat dilanjutkan ke pengadilan atau tidak. Secara filosofis, konsep ini berakar pada prinsip ius puniendi, yakni hak negara untuk menghukum individu yang melanggar hukum. Dalam konteks ini, kejaksaan memiliki tanggung jawab sebagai perwujudan kekuasaan negara dalam penegakan hukum dengan mengontrol jalannya perkara guna mencapai keadilan substantif (justitia substantialis).
Dalam sistem civil law yang dianut oleh banyak negara, termasuk Indonesia, peran Dominus Litis biasanya dipegang oleh jaksa penuntut umum karena ia memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan dan mengajukan perkara ke pengadilan. Selain itu, kejaksaan diberikan kewenangan luas untuk melakukan pengawasan terhadap proses penyidikan berdasarkan asas opportunité de poursuites atau principle of opportunity, yaitu kebebasan untuk menentukan apakah suatu kasus layak untuk diajukan ke pengadilan atau tidak. Sejarah konsep ini dapat ditelusuri dalam sistem hukum Romawi yang menganut prinsip accusatio directa, di mana jaksa atau penuntut umum memiliki peran utama dalam mengajukan dan mengendalikan proses hukum terhadap seorang terdakwa.
Di Indonesia, konsep ini mengalami perubahan dari sistem inquisitoire, yang memberikan peran dominan kepada kejaksaan dalam Herziene Indonesisch Reglement (HIR), menjadi sistem accusatoir yang lebih membatasi kewenangan kejaksaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini berlaku. Posisi dan fungsi kejaksaan sebagai dominus litis sebenarnya sangat jelas dalam ketentuan (HIR). Pada masa berlakunya HIR, penyidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penuntutan (unité de poursuite et d’instruction). Hal ini menjadikan jaksa penuntut umum sebagai koordinator penyidikan (coordinator investigationis) sekaligus memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan sendiri (opsporing). Untuk itu, kejaksaan menempati posisi sebagai instansi kunci (key figure) dalam keseluruhan proses penyelenggaraan hukum pidana dari tahap awal hingga akhir (ab initio ad finem).
Namun, dengan dicabutnya HIR dan digantikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), peran kejaksaan dalam penyidikan mengalami perubahan fundamental. KUHAP menganut prinsip diferensiasi fungsional (differentiationem functionum), yang membatasi kewenangan kejaksaan hanya dalam tahap penuntutan, sementara kewenangan penyidikan secara eksklusif diberikan kepada kepolisian (monopolium investigationis). Akibatnya, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan sendiri atau mengarahkan proses penyidikan secara langsung telah mengalami deligitimasi (delegitimatio) secara tidak langsung oleh KUHAP. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) :
Pasal 110 KUHAP
- Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
- Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
- Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
- Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal 138 KUHAP
- Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
- Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Dengan perubahan ini HIR menjadi KUHAP, meskipun jaksa tetap dianggap sebagai dominus litis, perannya dalam menentukan arah dan kualitas penyidikan menjadi lebih terbatas dibandingkan dengan sistem hukum sebelumnya. Hal ini menimbulkan dilema dalam praktik penegakan hukum, terutama dalam memastikan bahwa penyidikan dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law dan tidak menimbulkan hambatan dalam tahap penuntutan.
Dalam teori hukum Rechtsstaat, setiap proses hukum harus mengedepankan prinsip keadilan (justitia), kepastian hukum (certitudo juris), dan kemanfaatan hukum (utilitas juris). Jika kejaksaan tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi penyidikan secara langsung, maka terdapat risiko terjadinya penyimpangan dalam proses pencarian bukti dan penerapan hukum. Prinsip fruit of the poisonous tree, yang berkembang dalam sistem common law, menunjukkan bahwa jika suatu bukti diperoleh secara tidak sah (illegal evidence), maka seluruh hasil penyidikan yang bersumber dari bukti tersebut menjadi tidak sah. Oleh karena itu, kejaksaan sebagai pengendali perkara harus memiliki otoritas dalam memastikan bahwa alat bukti dikumpulkan secara sah (legitima probatio).
Kejaksaan sebagai dominus litis seyogyanya memiliki kendali penuh terhadap proses penyidikan hingga penuntutan agar dapat menjamin keabsahan alat bukti serta keadilan bagi terdakwa dan korban (in dubio pro reo). Namun, jika jaksa tetap dianggap sebagai Dominus Litis, tetapi tidak memiliki kewenangan dalam tahap penyidikan, maka perannya hanya sebatas pelengkap administratif dalam sistem peradilan pidana, bukan sebagai pengendali perkara yang sesungguhnya.
Dr. Handar Subhandi Bakhtiar, S.H., M.H., M.Tr.Adm.Kes.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta,
Koordinator Program Studi Doktor FH UPN “Veteran” Jakarta.
Telah diterbitkan pada :