Jakarta 17 Juli 2025, Isu integrasi nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam sistem peradilan pidana anak menjadi sorotan utama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ)  pada Kamis, 17 Juli 2025. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring dan menghadirkan tiga narasumber akademisi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Pendidikan Nasional, dan Universitas Tanjungpura.

FGD ini diselenggarakan sebagai bagian dari upaya akademik untuk merespons dinamika pembaharuan hukum pidana nasional pasca disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, khususnya terkait pengakuan terhadap hukum adat sebagai sumber hukum yang sah. Dalam forum tersebut, ketiga narasumber memberikan kontribusi pemikiran strategis mengenai pentingnya membangun sistem peradilan pidana anak yang tidak hanya bersifat formal dan represif, tetapi juga responsif terhadap nilai-nilai lokal, berpihak pada kepentingan terbaik anak, serta selaras dengan prinsip keadilan restoratif.

Adapun narasumber pada FGD diantaranya: Prof. Dr. Rena Yulia, S.H., M.H. berasal dari Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; Dr. AAA. Ngurah Tini Rusmini Gorda, S.H., M.H. berasal dari Universitas Pendidikan Nasional Bali; dan Dr. Hj. Sri Ismawati, S.H., M.Hum. berasal dari (Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Kegiatan ini dibuka oleh Ketua Tim Peneliti, Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M., dan dimoderatori oleh tim peneliti, Diajeng Dhea Annisa Aura Islami (Anggota/ Mahasiswa).

Prof. Dr. Rena Yulia, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Pidana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), mengemukakan pentingnya pengakuan dan integrasi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dalam sistem hukum nasional, khususnya pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam pemaparannya, beliau menegaskan bahwa Pasal 2 ayat (1) KUHP memberikan ruang bagi hukum adat untuk tetap berlaku, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional. Kemudian, Prof. Rena menguraikan bahwa masyarakat hukum adat seperti komunitas Baduy merupakan contoh konkret masyarakat yang masih menjalankan sistem hukum adat secara utuh, yang mencakup pranata sosial, sistem sanksi, mekanisme penyelesaian konflik, hingga lembaga pemasyarakatan adat. Beliau juga menjelaskan bahwa keberlakuan hukum adat tersebut mensyaratkan adanya pengakuan formal melalui peraturan daerah yang memuat klasifikasi masyarakat adat, jenis tindak pidana adat, dan bentuk sanksi adat yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, muncul tantangan yuridis seperti potensi tumpang tindih kewenangan antara peradilan adat dan peradilan nasional, khususnya ketika pengadilan menjatuhkan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana diatur dalam Pasal 97 KUHP, tanpa mempertimbangkan mekanisme pemulihan khas yang menjadi esensi dari hukum adat. Prof. Rena menekankan bahwa mekanisme penyelesaian adat, seperti konsep Silih Hampura di masyarakat Baduy, menitikberatkan pada pemulihan hubungan sosial dan keharmonisan kosmis, bukan semata pembalasan atau penghukuman. Dalam konteks perbandingan hukum, beliau turut menyinggung sistem hukum di Sudan Selatan dan Malaysia yang telah memberikan pengakuan eksplisit terhadap hukum adat dalam struktur hukum nasionalnya, yang dapat dijadikan referensi untuk menyempurnakan penerapan hukum adat di Indonesia. Oleh karena itu, menurut Prof. Rena, perlu dirancang kebijakan hukum yang mampu menjembatani antara hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dengan sistem hukum nasional agar prinsip keadilan substantif dapat terwujud secara kontekstual dan berkelanjutan.

Berita Terkait :  Sosialisasi Summer Course at Walailak University

Selanjutnya, Dr. A.A.A Ngurah Tini Rusmini Gorda, S.H., M.M., M.H., menjelaskan mengenai dinamika pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Dalam pemaparannya, beliau menekankan bahwa lahirnya regulasi ini membawa pergeseran paradigma penting dari sistem yang semula bersifat represif dan berorientasi pada pemidanaan, menjadi sistem yang mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) melalui mekanisme diversi. Beliau menjelaskan bahwa prinsip-prinsip utama dalam SPPA meliputi perlindungan terhadap hak anak, asas non diskriminasi, pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak, serta pemberlakuan pemenjaraan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Diversi, dalam pandangan beliau, bukan hanya instrumen hukum, melainkan juga wujud konkret upaya pemulihan sosial dengan melibatkan partisipasi aktif dari korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat. Meski demikian, Dr. Tini juga menggarisbawahi berbagai kendala implementatif, seperti terbatasnya pemahaman aparat penegak hukum, minimnya sarana prasarana, belum optimalnya regulasi pendukung, hingga masih kuatnya stigma masyarakat terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Dalam penjelasan lebih lanjut, beliau membandingkan sistem SPPA di Indonesia dengan praktik serupa di berbagai negara seperti Belanda, Amerika Serikat, Norwegia, dan Jepang, yang secara umum telah menerapkan prinsip rehabilitasi dan reintegrasi anak ke dalam masyarakat secara lebih sistematis dan progresif. Menariknya, menurut beliau, pendekatan keadilan restoratif sejatinya telah memiliki akar historis yang kuat dalam sistem hukum adat di Indonesia, yang dikenal sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Hal ini terlihat, misalnya, dari praktik musyawarah mufakat, partisipasi tokoh adat, serta orientasi pada pemulihan hubungan sosial yang telah lama menjadi fondasi penyelesaian konflik dalam masyarakat adat seperti di Bali melalui konsep Tri Hita Karana. Dengan demikian, Dr. Tini menegaskan bahwa desain ideal SPPA di Indonesia seharusnya mengintegrasikan nilai-nilai keadilan restoratif modern dengan tradisi hukum adat yang telah hidup dan berkembang secara turun-temurun agar sistem peradilan anak di Indonesia mencerminkan keadilan yang humanis, kontekstual, dan berakar pada kearifan lokal.

Pemaparan terakhir, Dr. Hj. Sri Ismawati, S.H., M.Hum., secara mendalam menjelaskan urgensi pengintegrasian nilai-nilai hukum adat ke dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Dalam penjelasannya, Sri Ismawati menekankan bahwa pendekatan hukum pidana anak dewasa ini telah mengalami pergeseran paradigma, dari orientasi penghukuman menjadi pendekatan yang lebih manusiawi dan berfokus pada pemulihan. Perubahan ini diperkuat dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru mulai Januari 2026 yang mengakui eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law. Sebagai contoh konkret, beliau mengangkat praktik penyelesaian perkara pidana anak dalam masyarakat adat Dayak Kanayatn melalui mekanisme Barukupm Adat yang menekankan musyawarah, keterlibatan tokoh adat dan keluarga, serta pemulihan sosial sebagai nilai utama. Pendekatan ini dinilai selaras dengan prinsip keadilan restoratif yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012), khususnya melalui mekanisme diversi, mediasi penal, dan penyelesaian non pro justitia.

Berita Terkait :  Menguak Tantangan Penegakan Hak Cipta di Industri Musik Tanah Air

Beliau menjelaskan bahwa kontribusi nilai-nilai adat seperti eksekusi sanksi secara tunai dan segera, penghindaran proses birokratis, serta yurisdiksi penyelesaian perkara yang tidak menimbulkan dualisme hukum, menjadi elemen penting dalam membangun sistem peradilan anak yang responsif dan kontekstual. Dengan mengedepankan prinsip musyawarah, pemulihan, dan keterlibatan komunitas, nilai-nilai lokal, seperti Barukupm Adat terbukti mampu menyelesaikan perkara pidana anak secara damai tanpa stigma dan dengan efikasi sosial yang tinggi. Oleh karena itu, Sri Ismawati menegaskan pentingnya membangun SPPA terpadu yang menggabungkan unsur formal dan non formal, serta mengakui praktik penyelesaian adat sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana anak nasional, guna menciptakan mekanisme yang lebih adaptif terhadap realitas sosial budaya masyarakat Indonesia.

Adapun Tim Peneliti diantaranya adalah Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LL.M. (Ketua Peneliti/Dosen FH UPNVJ); Kayus Kayowuan Lewoleba, SH, MH (Anggota/ Dosen FH UPNVJ); Dr. Zico Junius Fernando, SH, MH (Anggota/Dosen FH Univ Bengkulu); Diajeng Dhea Annisa Aura Islami (Anggota/Mahasiswa); Bryan Storm Feryan Djie (Anggota/Mahasiswa).

Penyelenggaraan Focus Group Discussion ini diharapkan tidak hanya menjadi forum diskusi akademik, melainkan turut berkontribusi secara nyata dalam perumusan kebijakan hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan anak yang berhadapan dengan hukum. Integrasi nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) merupakan langkah strategis dalam membangun sistem hukum nasional yang kontekstual, adaptif, dan berlandaskan keadilan sosial. Praktik penyelesaian perkara pidana anak yang diterapkan dalam komunitas adat, seperti mekanisme penyelesaian di masyarakat Baduy dan Barukupm Adat Dayak Kanayatn, menunjukkan bahwa model penyelesaian berbasis musyawarah, partisipasi komunitas, dan pemulihan hubungan sosial telah lama menjadi bagian dari kearifan lokal bangsa Indonesia.

Maka dari itu, hasil FGD ini memberikan masukan penting bagi arah pengembangan kebijakan sistem peradilan pidana anak, khususnya dalam konteks pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada tahun 2026, yang secara eksplisit mengakui eksistensi hukum adat sebagai bagian dari sumber hukum yang hidup dalam masyarakat. Diperlukan komitmen dan langkah konkret untuk merancang instrumen hukum turunan yang mendukung penguatan peran peradilan adat, memperjelas mekanisme diversi berbasis komunitas, serta memperkuat koordinasi antara aparat penegak hukum dan lembaga adat. Dengan demikian, sistem peradilan pidana anak di Indonesia tidak hanya berdiri di atas kerangka hukum formal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya, prinsip kemanusiaan, dan keadilan substantif yang berkembang dalam masyarakat.

Share

Contact Us

×