Jakarta, 15 Oktober 2025 – Dalam rangka memperkuat agenda internasionalisasi dan memperluas jejaring akademik lintas negara, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (FH UPNVJ) menggelar kegiatan Adjunct Professor Lecture dengan menghadirkan pakar hukum tata negara dari Malaysia, Assoc. Prof. Dr. Nazli Bin Ismail, pada Rabu (15/10/2025).

Kuliah umum bertajuk “Rule of Law and Supremacy of the Constitution” ini diselenggarakan secara tatap muka di ruang perkuliahan Fakultas Hukum UPNVJ dan diikuti antusias oleh mahasiswa, dosen, serta civitas akademika. Kegiatan berlangsung pukul 10.00–11.00 WIB dan menjadi bagian dari komitmen fakultas untuk menghadirkan perspektif global dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Rule of Law sebagai Pilar Negara Hukum Modern

Dalam paparannya, Prof. Nazli menjelaskan bahwa rule of law merupakan pilar utama dalam negara hukum modern yang menegaskan kesetaraan setiap individu di hadapan hukum — no one is above the law. Menurutnya, prinsip rule of law tidak hanya berfungsi sebagai norma yuridis, tetapi juga sebagai fondasi moralitas publik yang menuntut integritas dan akuntabilitas dari seluruh pemegang kekuasaan negara.

“The Rule of Law ensures predictability, fairness, and accountability across society. Without it, democracy loses its integrity,” ujar Prof. Nazli.

Beliau menjabarkan tiga karakter utama rule of law, yakni:

  1. Supremacy of the Law – hukum berada di atas kekuasaan;

  2. Equality Before the Law – setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum; dan

  3. Accountability of Power – setiap tindakan pemerintahan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.

Menurut Prof. Nazli, negara yang menempatkan hukum di atas kekuasaan akan melahirkan kepercayaan publik yang kuat terhadap pemerintah.

“When leaders respect the law, the people trust their government. That’s how democracy survives,” tuturnya.


Menegakkan Supremasi Konstitusi dan Peran Peradilan yang Independen

Lebih lanjut, Prof. Nazli menyoroti peran vital lembaga peradilan sebagai guardian of the constitution. Menurutnya, pengadilan harus berdiri independen dan bebas dari intervensi politik, agar dapat menegakkan keadilan secara objektif.

“Independent courts are the soul of constitutionalism. Without them, constitutions are lifeless,” tegasnya.

Dalam konteks supremasi konstitusi (constitutional supremacy), beliau menekankan bahwa konstitusi merupakan otoritas hukum tertinggi (the highest legal authority) yang mengatur agar kekuasaan negara tetap berada dalam koridor demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Berita Terkait :  Rapat Koordinasi Tinjauan Management Dalam Rangka Laporan Tahunan Periode Tahun 2023 dan Pembuatan Kalender Perencanaan Kegiatan Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta

Menariknya, Prof. Nazli juga membandingkan penerapan prinsip ini di Malaysia dan Indonesia.

  • Malaysia, jelasnya, mengadopsi sistem monarki konstitusional federal dengan struktur hukum yang pluralistik — memadukan hukum sipil, syariah, dan adat.

  • Sementara Indonesia, dengan sistem republik konstitusional, mempercayakan fungsi pengawal konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Melalui slide bertajuk “Two Courts, One Mission”, beliau menegaskan bahwa meskipun struktur lembaga berbeda, Federal Court Malaysia dan Mahkamah Konstitusi Indonesia memiliki misi serupa: menjaga keadilan konstitusional dan melindungi hak-hak warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan.

“Despite different institutional structures, both our courts — Malaysia’s Federal Court and Indonesia’s Constitutional Court — share one mission: upholding constitutional justice and protecting citizens’ rights,” jelasnya.


Tantangan Supremasi Konstitusi di Asia Tenggara

Dalam sesi “Challenges to Constitutional Supremacy”, Prof. Nazli memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi negara-negara Asia Tenggara dalam menjaga tegaknya supremasi konstitusi. Di antaranya:

  1. Political Interference and Ouster Clauses – pembatasan kewenangan judicial review akibat intervensi politik;

  2. Legal Pluralism Complications – tumpang tindih antara hukum adat, agama, dan hukum nasional; serta

  3. Judicial Independence Under Pressure – tekanan terhadap independensi hakim dari kekuasaan eksekutif.

Ia menegaskan bahwa supremasi konstitusi hanya dapat dipertahankan jika para hakim memiliki keberanian moral dan intelektual dalam menegakkan keadilan, bahkan di bawah tekanan politik.

“Judges must have both knowledge and courage. Without courage, constitutional supremacy means nothing,” ungkapnya.

Agenda Masa Depan: Menguatkan Demokrasi Konstitusional

Dalam sesi “The Future of Rule of Law and Constitutional Supremacy”, Prof. Nazli menawarkan empat agenda strategis untuk memperkuat sistem hukum konstitusional di masa depan, yaitu:

  1. Penguatan fungsi judicial review;

  2. Pengembangan sistem constitutional compliance measurement untuk menilai kepatuhan lembaga negara terhadap konstitusi;

  3. Peningkatan pendidikan hukum publik (legal education); dan

  4. Evolusi konstitusi (constitutional evolution) agar tetap relevan dengan dinamika sosial dan kemajuan teknologi.

Berita Terkait :  Kunjungan FH UPNVJ ke FH Universitas Hasanuddin Dalam Rangka Penandatanganan PKS Studi Banding Jurnal Scopus, Peradilan Semu dan Gugus Penjaminan Mutu

Beliau menegaskan bahwa kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dapat mendukung efisiensi peradilan, namun tidak boleh menggantikan nilai kemanusiaan dalam hukum.

“Technology, including AI, can support judicial efficiency but never replace human conscience. The Constitution must always remain human-centred,” tegasnya.


Diskusi Interaktif dan Arah Kolaborasi Regional

Sesi kuliah diakhiri dengan diskusi interaktif yang menunjukkan antusiasme mahasiswa FH UPNVJ terhadap isu hukum perbandingan. Salah satu mahasiswa menanyakan mengenai konflik yurisdiksi antara hukum syariah dan hukum sipil di Malaysia, yang dijawab Prof. Nazli dengan penjelasan mendalam tentang pentingnya judicial clarity dan constitutional interpretation.

Menariknya, saat ditanya mengenai kemungkinan kerja sama antara Mahkamah Konstitusi Indonesia dan Federal Court Malaysia dalam membangun “Constitutional Supremacy Index” di kawasan Asia Tenggara, Prof. Nazli menyambut gagasan tersebut dengan antusias.

“A Constitutional Supremacy Index for Southeast Asia would be a wonderful initiative promoting accountability and mutual learning between nations,” ujarnya.

Dekan FH UPNVJ: Menguatkan Wawasan Global dan Spirit Bela Negara

Dekan Fakultas Hukum UPNVJ menyampaikan apresiasi yang tinggi atas kehadiran Prof. Nazli dalam kuliah ini. Menurutnya, kegiatan tersebut tidak hanya memperluas wawasan mahasiswa tentang perbandingan hukum konstitusi di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga memperkuat pemahaman mereka terhadap nilai-nilai rule of law, konstitusionalisme, dan integritas akademik.

“Kehadiran Prof. Nazli membuka wawasan mahasiswa terhadap perbandingan hukum konstitusi di Asia Tenggara dan memperkuat pemahaman atas prinsip rule of law sebagai fondasi negara hukum,” ungkap Dekan FH UPNVJ.

Melalui kegiatan ini, Fakultas Hukum UPNVJ menegaskan tekadnya untuk mencetak lulusan berintegritas, berwawasan global, dan berkarakter Bela Negara, yang siap menghadapi tantangan hukum di era transformasi digital dan globalisasi.

Share

Contact Us

×