Kekerasan seksual termasuk dalam kategori Graviora Delicta (Kejahatan Paling Serius). Pernyatan ini disampaikan oleh Ahli Pidana Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M. Ia menyampaikan hal ini saat diminta keterangannya sebagai saksi ahli dalam persidangan Praperadilan Kasus Kekerasan Seksual Kemenkop UKM (Kamis, 30/8/2023).

Menurut Beni, ada ada 5 parameter suatu kejahatan dikategorikan sebagai Kejahatan Paling Serius adalah:
1. Kejahatan tersebut dampak viktimisasinya sangat luas dan berlangsung lama (seumur hidup);
2. Kejahatan tersebut merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk oleh masyarakat (people               condemnation) baik nasional maupun internasional;
3. Memiliki Lembaga yang dibentuk khusus (Komnas Perempuan, KPAI, dsb);
4. Kejahatan dilandasi Konvensi Internasional;
5. Adanya Undang-Undang khusus yang mengatur perbuatan tersebut (UU Perlindungan Anak).

Lebih lanjutnya dijelaskannya bahwa kalau lima parameter ini dikaitkan dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana pada pasal 12 huruf a angka 4, maka pelaksanaan keadilan restoratif memiliki prinsip pembatas, yakni tingkat kesalahan pelaku *relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan.*
Ia mengakui bahwa tindak pidana kekerasan seksual termasuk dalam kejahatan paling serius dan seharusnya tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Apabila suatu kasus dihentikan dalam proses penyidikan maka berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diujikan pada sidang praperadilan.

Berita Terkait :  Hadiri Penyuluhan dan Jajak Aspirasi Warga Marunda, Akademisi FH UPNVJ Ingatkan Pemerintah Terkait Situasi Polusi Udara Jakarta

Sementara Ahli Pidana FH Universitas Indonesia Dr. Flora Dianti, A.Md. S.H, M.H. menegaskan bahwa azas ” Ne Bis In Idem ” dapat dipersoalkan hanya jika pemeriksaan sudah memasuki pokok perkara secara materiil sedangkan permohonan praperadilan adalah aspek formil.

Terkait persidangan praperadilan yang mempersoalkan Penghentian Penyidikan yang dilakukan Polres Bogor, dimana Polres Bogor menganggap pengajuan Praperadilan oleh Pemohon (Korban) Nebis in Idem karena sudah ada permohonan Praperadilan sebelumnya yang dijukan oleh para tersangka (sudah diputus 12 Januari 2023), Flora menegaskan Praperadilan dapat dibuka kembali, walau sudah pernah diputus.

“Karena praperadilan hanya menilai aspek formil: Apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah. Tidak memasuki materi perkara. Sehingga tidak menggugurkan kewenangan Penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, (berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara). Hal ini diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016” tegas Flora.

Berita Terkait :  Twibbon Dies Natalis Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta yang ke 21

Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No. 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan berbunyi:  “Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenanganan Penyidik untuk menetapkan lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya berkaitan dengan materi perkara”.

Menurut Flora, alasan penyidik menghentikan penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti, merupakan alasan yang tidak tepat, karena jika sudah ditentukan adanya tersangka, maka sudah selayaknya penyidik yakin adanya tindak pidana terlebih dahulu yang dilakukan oleh tersangka berdasarkan bukti yang cukup.  Sesuai dengan tugas penyidik mencari kebenaran berdasar bukti yang cukup, atau factual guilt.

Flora menegaskan bahwa penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti hanya dapat dilakukan setelah penyidik secara optimal melakukan pengumpulan bukti saksi, bukti surat dan keterangan ahli, mengumpulkan petunjuk sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.

“Bahwa penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti tidak bisa karena alasan demi kepastian hukum dengan adanya putusan praperadilan terkait SP3” tambah Flora.

Sumber: Inakoran.com, Senin, 04 September 2023
https://inakoran.com/ahli-pidana-sebut-kekerasan-seksual-masuk-dalam-kejahatan-paling-serius/p45084

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?