Tegaskan Pancasila sebagai Kompas Hukum Nasional di Era Digital, Dua Guru Besar FH UPNVJ menjadi Narasumber dalam Dialog Kebangsaan MPR RI
- Rabu, 24 Desember 2025
- HUMAS FH
- 0
Jakarta, 24 Desember 2025 — Perkembangan teknologi digital yang semakin masif telah menghadirkan tantangan baru dalam sistem hukum nasional, khususnya terkait kebebasan berekspresi di ruang digital, perlindungan hak asasi manusia, serta arah pembaruan hukum menuju Indonesia Emas 2045. Menyikapi dinamika tersebut, dua Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (FH UPNVJ), yakni Prof. Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H., menegaskan kembali urgensi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam menghadapi transformasi digital.
Penegasan tersebut disampaikan dalam kegiatan Dialog Kebangsaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI bertema “Rekonstruksi Konstitusi Menyongsong Indonesia Emas 2045: Peran Strategis MPR dalam Menjaga Ideologi Bangsa”, yang diselenggarakan pada Rabu (24/12/2025) di Jakarta. Kegiatan ini menjadi forum strategis nasional yang menghadirkan pemikiran akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan negara dalam merumuskan arah konstitusional bangsa di tengah perubahan global dan digitalisasi.
Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Taufiqurrohman Syahuri, Guru Besar FH UPNVJ dan pakar hukum tata negara, mengangkat topik “Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum di Era Digital”. Ia menekankan bahwa Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar ideologis negara, tetapi juga sebagai tolok ukur etis dan normatif dalam pembentukan serta penegakan hukum nasional, khususnya dalam merespons fenomena kebebasan berekspresi di media sosial.
Menurutnya, kebebasan berekspresi di ruang digital harus dipahami sebagai hak konstitusional yang melekat pada warga negara, namun tetap dibatasi oleh nilai tanggung jawab sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia. Ia menyoroti bahwa tanpa kesadaran ideologis, kebebasan digital berpotensi melahirkan ekspresi yang bersifat menghina, mencemarkan nama baik, menyebarkan ujaran kebencian, hingga hoaks yang merusak kohesi sosial.
“Hukum pidana tidak boleh menjadi instrumen utama dalam menyelesaikan setiap konflik verbal di ruang digital. Ia harus ditempatkan sebagai ultimum remedium, yakni sarana terakhir. Negara tidak boleh terlalu jauh masuk ke dalam konflik personal antarwarga,” tegas Prof. Taufiqurrohman.
Pandangan tersebut sejalan dengan kajian akademiknya dalam makalah berjudul “Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum di Era Digital”, yang menyoroti risiko overkriminalisasi dan chilling effect terhadap kebebasan berekspresi apabila pendekatan pidana digunakan secara berlebihan.
Ia menambahkan bahwa sengketa penghinaan atau pencemaran nama baik yang bersifat personal lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme hukum perdata, yang dinilai lebih proporsional, berkeadilan, serta mencerminkan nilai kemanusiaan dan musyawarah sebagaimana terkandung dalam sila-sila Pancasila. Sementara itu, hukum pidana tetap diperlukan untuk menangani ekspresi digital yang secara nyata mengancam kepentingan publik, seperti ujaran kebencian berbasis identitas, provokasi kekerasan, dan penyebaran hoaks yang menimbulkan keresahan sosial luas.
Sementara itu, Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H., Guru Besar FH UPNVJ dan pakar hukum administrasi negara serta perundang-undangan, menekankan pentingnya rekonstruksi konstitusional dan kebijakan hukum nasional yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, namun tetap berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Prof. Wicipto, tantangan utama di era digital bukan hanya pada aspek penegakan hukum, tetapi juga pada kualitas peraturan perundang-undangan dan tata kelola regulasi yang sering kali tertinggal dibandingkan dengan laju inovasi teknologi. Ia menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan bahwa regulasi digital tidak bersifat represif, tetapi tetap menjamin kepastian hukum, perlindungan hak warga negara, serta kepentingan umum.
“Pancasila harus menjadi roh dalam setiap kebijakan dan regulasi, termasuk dalam hukum siber dan hukum digital. Regulasi yang baik adalah regulasi yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga adil, humanis, dan sesuai dengan nilai ideologi bangsa,” ungkap Prof. Wicipto.
Ia juga menekankan peran strategis MPR RI sebagai lembaga penjaga ideologi bangsa dalam memastikan bahwa arah pembangunan hukum nasional tetap berada dalam koridor Pancasila, terutama dalam menghadapi tantangan disrupsi digital, globalisasi nilai, dan perubahan pola interaksi sosial masyarakat.
Partisipasi aktif dua Guru Besar FH UPNVJ dalam Dialog Kebangsaan MPR RI ini mencerminkan peran strategis Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta sebagai institusi akademik yang konsisten memberikan kontribusi pemikiran bagi penguatan ideologi bangsa dan pembangunan hukum nasional yang berkeadilan.
Kegiatan ini juga menjadi wujud nyata sinergi antara dunia akademik dan lembaga negara dalam merumuskan arah kebijakan konstitusional dan hukum yang responsif terhadap perkembangan teknologi, tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar Pancasila sebagai jati diri bangsa.
Melalui forum Dialog Kebangsaan ini, diharapkan lahir pemahaman bersama bahwa transformasi digital harus diiringi dengan keteguhan ideologis, sehingga sistem hukum nasional tidak hanya modern dan adaptif, tetapi juga tetap berpijak pada nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan demokrasi, demi terwujudnya Indonesia Emas 2045.
