Jakarta, 16 Oktober 2025 – Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (FH UPNVJ) menyelenggarakan kegiatan Adjunct Professor Lecture dan Student Workshop bertajuk “Constitution, Freedom of Expression, and Digital Media”, menghadirkan narasumber tamu internasional Assoc. Prof. Dr. Nazli Bin Ismail dari Faculty of Law and International Relations, Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA) Malaysia.

Acara ini diikuti oleh mahasiswa International Law Students Association (ILSA) FH UPNVJ dan dilaksanakan di Ruang Rapat Lantai 2 FH UPNVJ dengan suasana akademik yang aktif, interaktif, dan berbobot.

 

Prof. Nazli membuka pemaparannya dengan menjelaskan makna hak konstitusional atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam berbagai instrument hukum, termasuk Article 19 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Ia menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tidak hanya berarti kebebasan berbicara, tetapi juga kebebasan untuk menyampaikan, mencari, dan menerima informasi di berbagai media, termasuk dunia digital.

Freedom of expression is the foundation of democracy and the vehicle of truth. Without it, societies lose their ability to progress and to hold power accountable,” ujar Prof. Nazli.

Beliau kemudian menyoroti Legal Restrictions in Indonesia, termasuk pembatasan terhadap ujaran kebencian (hate speech), penodaan agama (blasphemy), penyebaran berita palsu (false information), serta pasal-pasal dalam KUHP dan UU ITE yang berdampak pada jurnalis, aktivis, dan media independen.

Every democratic state must find balance between liberty and responsibility. Freedom cannot be absolute, but restriction must never silence legitimate criticism,” jelasnya.

Berita Terkait :  Gugus Kendali Mutu Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta melakukan Benchmarking mengenai Penjaminan Mutu ke Fakultas Hukum Universitas Lampung

Dalam sesi perbandingan, Prof. Nazli memaparkan Malaysia’s Legal Framework and Challenges, mencakup empat isu utama:

  1. Communications and Multimedia Act 1998 (CMA) sebagai payung hukum utama untuk pengaturan konten daring dan tanggung jawab platform digital.
  2. Social Media Licensing Regime (2025) yang menimbulkan perdebatan publik terkait potensi penyensoran.
  3. Vague Legal Definitions, terutama dalam Sections 211 dan 233 CMA yang dinilai membuka peluang penegakan hukum yang arbitrer.
  4. Platform Liability Expansion, yang berkembang pasca kasus Malaysiakini di Malaysia, di mana platform daring dapat dimintai pertanggungjawaban atas komentar pengguna.

Section 233 is among the most debated parts of Malaysia’s cyber law. It deals with offensive and obscene content, but the definitions are so broad that they can affect free speech if not applied carefully,” tutur Prof. Nazli.

Ia kemudian menampilkan teks lengkap Communications and Multimedia Act 1998 yang menyatakan:

“Nothing in this Act shall be construed as permitting the censorship of the Internet.”

Prof. Nazli menegaskan bahwa ketentuan ini menjadi bukti komitmen Malaysia dalam menjaga kebebasan digital, meskipun tetap berada dalam koridor etika dan tanggung jawab hukum.

Selanjutnya, Prof. Nazli membahas teks klasik “A Declaration of the Independence of Cyberspace” karya John Perry Barlow, yang menyerukan kemerdekaan dunia siber dari dominasi kekuasaan negara.

Cyberspace consists of transactions, relationships, and thought itself. We are creating a world where anyone may express his or her beliefs without fear of being coerced into silence or conformity,” kutipnya dari deklarasi tersebut.

Berita Terkait :  Puncak Veteran Legal Competition 2025: Sinergi Hukum dan Teknologi untuk Pertumbuhan Ekonomi

Beliau menjelaskan bahwa pernyataan tersebut mencerminkan semangat kebebasan digital tanpa batas geografis, namun juga menimbulkan tantangan bagi sistem hukum modern dalam menjaga kedaulatan dan etika dunia maya.

 

 

Materi kemudian berlanjut pada teori Lawrence Lessig berjudul “Code is Law: On Liberty in Cyberspace.” Prof. Nazli menjelaskan bahwa dalam era digital, “kode” atau arsitektur sistem teknologi menjadi regulator baru yang menentukan bentuk kebebasan pengguna di dunia maya.

Our age of cyberspace has a new regulator code. This code determines how free we are, how private we are, and how speech is controlled. It can liberate, but it can also constrain,” ujarnya menegaskan.

Sebagai penutup, Prof. Nazli juga menyinggung isu kontemporer mengenai Artificial Intelligence (AI) Governance and Ethics, dengan mengacu pada National Guidelines on AI Governance & Ethics (AIGE) serta panduan regional ASEAN Guide on AI Governance and Ethics.

Ia menjelaskan empat prinsip utama yang disebut The Policy Compass, yakni Fairness, Accountability, Safety, dan Privacy.

AI must serve humanity, not replace it. Ethical AI governance ensures that fairness and accountability are built into the code itself, just as law governs human behaviour,” jelasnya.

Mahasiswa ILSA menunjukkan antusiasme tinggi terhadap isu lintas negara ini. Salah satu peserta menyampaikan kesan:

“It’s fascinating to see how law, technology, and ethics converge. What we’ve learned today shows that understanding digital freedom means understanding law in a completely new dimension,” ujar salah satu mahasiswa ILSA FH UPNVJ.

Share

Contact Us

×