Beberapa waktu yang lalu Laurentius Raymond JR P Sihombing, Ph.D memberikan kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional dengan Tema “KEDAULATAN NEGARA INDONESIA DALAM UDARA DAN ANGKASA”, Raymond Sihombing adalah Pakar Hukum Ruang Angkasa yang saat ini bekerja di Russia sebagai Professor Assistance, Docent and Researcher – Russian Law Academy Under The Russian Federation Ministry of Justice. Berikut adalah ringkasan materi kuliah umum :

KEDAULATAN NEGARA INDONESIA DALAM UDARA DAN ANGKASA

(Laurentius Raymond JR P Sihombing, Ph.D)

Pemanfaatan ruang angkasa sebagai bagian dari upaya kemanusiaan untuk menemukan sumber-sumber kehidupan demi kemaslahatan manusia sudah masuk dalam tahap perkembangan yang lebih pesat. Di planet bumi saja sudah terpasang dan bekerja sekitar duapuluh kosmodrom atau yang merupakan komplek peluncuran pesawat ulang-alik atau satelit ke ruang angkasa. Disekeliling planet bumi telah mulai bekerja ribuan satelit buatan manusia, diruang orbit bumi telah mampir kesitu sekitar 500 orang turis yang menandai awal mula turisme atau pariwisata di ruang angkasa. Selain itu, terkait dengan pemanfaatan bulan dan ekspedisi ke ruang angkasa seperti ke planet mars, dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia di ruang angkasa menjadi lebih beragam, lebih luas cakupannya dan lebih bervariasi. Dan ini artinya bahwa ketika kita mulai ‘mengarah ke ruang angkasa’, kita akan mulai berhadapan dengan sejumlah pertanyaan yuridis. Misalnya, dimana batas ruang udara dan angkasa? Hukum mana yang berlaku di stasiun orbital? Milik siapa benda-benda langit itu? Bisakah mendirikan suatu negara di bulan? Kalau membeli sebidang tanah lahan di bulan bagaimana? Hukum apa yang berlaku buat penduduk bumi di planet mars? Pertanyaan-pertanyaan ini bahkan sudah dan sedang dikaji oleh para ahli hukum ruang angkasa modern.

Norma hukum internasional yang mengatur aktivitas di kosmos (ruang angkasa) menjadi pusat perhatian setelah penjelajahan pertama ruang diatas bumi oleh manusia. Sudah 50 tahun lebih sejak peluncuran pertama manusia di ruang angkasa yakni Yury Alekseevich Gagarin atau yang terkenal sebagai Yury Gagarin dari Rusia (dulu Uni Soviet), pada tanggal 10 Oktober 1967 mulai berlakulah Perjanjian Internasional Tentang prinsip aktivitas negara-negara untuk penelitian dan pemanfaatan ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya yang disingkat sebagai Perjanjian tentang Ruang Angkasa (Space Treaty tahun 1967). Perjanjian ini merupakan perjanjian antarnegara yang berlaku universal yang sekarang sudah ditandatangani oleh lebih dari 120 negara termasuk diantaranya 2 negara adikuasa yakni AS dan Russia. Didalam perjanjian ini terkandung prinsip-prinsip yang terutama seperti prinsip penggunaan kosmos/ruang angkasa secara damai dan hal menolak penguasaan suatu negara terhadap benda-benda dari ruang angkasa.

Berita Terkait :  Memahami RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual)

Sejarah perkembangan kemajuan peradaban manusia juga ditandai dengan peristiwa pada 1972 dengan mulai berlakunya konvensi tentang pertanggungjawaban terhadap kerugian yang disebabkan oleh benda-benda ruang angkasa. Begitupula berselang 4 tahun, muncul lagi konvensi tentang registrasi obyek yang diluncurkan ke ruang angkasa. 2 perjanjian terakhir ini sangat penting karena keduanya menjadi perwujudan konsep pertanggungjawaban internasional suatu negara atas aktivitas apapun di ruang angkasa yang dilakukan olehnya, oleh perseorangan atau organisasi. Ini memang sangat jarang terjadi ketika negara secara hukum bertanggungjawab bukan hanya pada negara itu sendiri tetapi juga atas orang lain karena biasanya tidak semua peluncuran yang berakhir dengan keberhasilan yang baik.

Arti penting dari seluruh perjanjian yang terkait itu adalah bahwa semuanya merupakan kewajiban bagi seluruh negara yang ikut didalamnya (parties) sebagaimana dalam hukum perjanjian internasional kita mengenal istilah Pacta sunt servanda. Seluruh norma hukum internasional termasuk norma hukum kebiasaan internasional membentuk suatu Hukum Internasional Ruang Angkasa yang adalah salah satu dari bidang hukum terbaru dan termuda.

Terkait dengan perjanjian internasional, dewasa ini, sudah terdapat sejumlah perjanjian internasional yang terkait dengan ruang angkasa seperti misalnya Perjanjian antarpemerintah tentang Stasiun Ruang Angkasa Internasional (International Space Station) tertanggal 29 Januari 1998 antara pemerintah Kanada, negara-negara anggota Badan Ruang Angkasa Eropa, Jepang, Rusia dan Amerika Serikat dan dalam perjanjian juga diselipkan Kodeks  tentang tingkah laku (codes of conduct) bagi para awak yang bekerja di Stasiun Ruang Angkasa Internasional. Sementara terkait dengan hukum dan perundang-undangan nasional, di Indonesia terdapat Undang-undang nomor 16 tahun 2002 tentang pengesahan “Treaty on Principles Governing The Activities Of States In The Exploration and Use Of Outer Space, Including The Moon And Other Celestial Bodies.” Dan Undang-Undang nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan.

TENTANG BATAS KEDAULATAN NEGARA

Kedaulatan suatu negara yang juga merupakan kekuasaan negara memiliki karakter secara territorial atau sifat territorial. Ruang udara sama seperti ruang air dan tanah, dibagi menjadi bagian suatu negara yang terletak dibawah kedaulatan suatu negara lain. Dengan kata lain, ruang angkasa ini dalam beberapa tulisan dari para ahli hukum internasional seperti misalnya Gennady Pavlovich Zhukov merupakan teritori internasional yang terbuka dan dapat diakses dan dimanfaatkan untuk kemanusiaan. Sebaliknya juga dapat diartikan bahwa menurut Space Treaty 1967 tiada suatu negara yang dapat mengklaim tentang penguasaan di ruang angkasa.

Menarik bahwa pada tahun 1976 sekelompok negara-negara yang terletak di garis ekuator mencoba membuat pernyataan tentang hak berdaulat mereka di garis geostationer orbit dengan alasan bahwa proyeksi orbit berjalan diatas teritori negara mereka dan bila ditarik oleh garis lurus dari bumi masih masuk ranah kedaulatan dari wilayah udara negara-negara tersebut. Tetapi kemudian muncul pertanyaan, jadi sebenarnya dimanakah berakhirnya wilayah suatu negara dan dimanakah dimulainya wilayah terendah ruang angkasa? Sampai saat ini, pembatasan ruang angkasa dan ruang udara belum diatur secara formal yuridis. Sebagai salah satu sumber hukum ruang angkasa seperti halnya sumber hukum internasional, kebiasaan hukum internasional merupakan petunjuk terhadap jawaban berikut diatas. Secara praktik, terdapat ‘kesepakatan tak tertulis’ bahwa wilayah ruang angkasa adalah ruang diatas 100-110 kilometer diatas permukaan laut terendah. Misalnya, pada ketinggian 100 km pesawat ruang angkasa harus bisa mencapai daerah suborbital untuk dapat memenangkan saat itu sejumlah penghargaan.

Berita Terkait :  SEMINAR NASIONAL - BERSAMA MAHKAMAH KONSTITUSI RI MENJAGA PEMILU DEMI KEUTUHAN BANGSA

Permasalahan mengenai definisi luas kedaulatan negara sampai saat ini sangat aktual dan hangat khususnya terkait dengan aktivitas peluncuran dan pengiriman pesawat ulang alik dan benda-benda teknik seperti satelit dan lain sebagainya. Misalnya saja Federasi Rusia dengan Undang-undang tentang Aktivitas Ruang Angkasanya memberikan ijin bagi sejumlah daftar obyek diruang angkasa milik negara lain dengan syarat peluncuran diatas ruang udara Rusia dengan tujuan pengiriman ke suborbital serta dengan tujuan keberangkatan kembali ke bumi. Dari sudut pandang hukum internasional, terdapat banyak perbedaan mengenai apa yang disebut sebagai benda-benda ruang angkasa kalau menilik ke Perjanjian Ruang Angkasa tahun 1967 (space treaty 1967). Perjanjian ruang angkasa mengisyaratkan bahwa segala benda di ruang angkasa tidak terikat pada satu pun kedaulatan nasional suatu negara.

Kedaulatan suatu negara menurut prinsip dan pengertian wilayah yang diakui secara luas terdiri dari  wilayah seperti udara, laut dan darat. Tetapi kemudian muncul pengertian bahwa suatu wilayah atau obyek yang terletak diluar batas yang ditentukan tersebut seperti misalnya wilayah ekstra (extraterritorial) didalam kompleks diplomatik diluar negeri. Begitu pula dalam konteks hukum ruang angkasa, negara sesuai dengan konvensi hukum internasional yang terkait dengan ruang angkasa atau yang disebut sebagai Konvensi 1967, berhak “memberlakukan yurisdiksi serta control penuh” terhadap seluruh benda-benda dan teknologi yang ada di ruang angkasa seperti misalnya pesawat ulang aliknya. Misalnya saja dalam kabin pesawat “Soyuz”, sesuai dengan pasal 20 Undang-undang tentang ruang angkasa, pimpinan penerbangan berhak mengatur segala pekerjaan dan perihal yang dibutuhkan selama penerbangan ke ruang angkasa. Begitu pula status kewarganegaraan pimpinan penerbangan yang diperbolehkan adalah kewarganegaraan Federasi Rusia. Adapun status Stasiun Ruang Angkasa terdiri dari kumpulan yurisdiksi negara-negara yang memiliki tempat disana.

(untuk kalangan sendiri, dibuat untuk Kuliah Umum di UPN Veteran, Jakarta)

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?