Situasi akibat pandemi Coronavirus Disease-2019 (Covid-19), pemerintah mengeluarkan Narapidana (Napi) untuk mencegah penularan Covid-19. Berbagai polemik pun muncul di masyarakat. BEM FH UPNVJ menyelenggarakan diskusi via zoom untuk membahas mengenai kebijakan tersebut.

Kamis, (30/4) lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (FHUPNVJ) menyelenggarakan Diskusi Publik (Duplik) yang bertajuk “Polemik Pembebasan Napi. Napi Berulah Masyarakat Resah?”. Pada Duplik kali ini menghadirkan tiga pemantik diskusi yakni, Dosen Hukum Pidana FH UPNVJ, Beniharmoni Harefa, Ketua Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arip Yogiawan, serta Peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar. Duplik kali ini juga dimoderatori oleh Ghatfan Hanif, selaku Staf Kastrat BEM FH UPNVJ.

Beniharmoni Harefa membuka diskusi dengan menjelaskan alasan pembebasan Narapidana (Napi) di tengah pandemi Coronavirus Disease-2019 (Covid-19). Ia menjelaskan bahwa situasi lapas di Indonesia yang over crowded dan capacity menyebabkan menerapkan penerapan physical distancing di dalam lapas sangat padat, sehingga mengakibatkan mudahnya penularan penyakit.

“Contoh tempat tertutup yang tertular Covid-19 seperti lembaga Pendidikan calon-calon perwira polisi dan asrama bethel,” jelas Beni.

Lebih lanjut, Beni juga menjelaskan sejatinya paradigma hukum pidana yang baru di Indonesia telah meninggalkan pidana yang sifatnya retributive dan menuju pemidanaan yang lebih bersifat korektif, rehabilitatif, dan restorative. Baginya, pidana penjara mengarah pada ultimum remedium atau sebagai obat terakhir. Pemidanaan seperti ini menurutnya tidak efektif dan kedepan memerlukan untuk melakukan revisi peraturan perundang-undangan

Menurutnya, Kebijakan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 sudah sesuai dengan paradima hukum pidana modern. Meskipun ia juga mengakui masih banyak kelemahan terkait peraturan tersebut.

Berita Terkait :  Penguatan Bahasa dan Literasi Teknologi Informasi Kunci Sukses Bersaing di Era Revolusi 4.0 dan Society 5.0

Menurut Beni, salah satu kelemahannya dari Permenkumham ini terkait tidak optimalnya fungsi pengawasan. Kelemahan itu menurut Beni, meliputi kebijakan dikeluarkan dan diserahkan kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang bertanggung jawab atas Napi yang dikeluarkan yang tercantum dalam Pasal 19.

“Jumlah Bapas ada 71, pembimbing kemasyarakatan hanya 1.222 ribu. Seharusnya melibatkan pemangku kepentingan lainnya untuk mengawasi para Napi seperti Bupati ataupun Camat,” kata Beni saat diskusi berlangsung.

Beni juga menjelaskan, bahwa Napi yang dibebaskan saat pandemi Covid-19 adalah yang dikategorikan dalam pidana umum. Sementara Napi pidana khusus seperti terorisme, narkotika, kejahatan keamanan negara, kejahatan terhadap HAM dan transnasional tak termasuk Napi yang dikeluarkan menuurt Permenkumham ini.

Beni juga mempertanyakan apakah dengan dibebaskannya Napi akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Karena menurutnya, dari jumlah Napi yang dikelarkan sebanyak 38.822 orang, yang berulah Kembali hanya sekitar 27-30 orang.

“Itu hanya sekitar 0,07% dari jumlah yang dibebaskan. Nanti bisa kita simpukan sendiri apakah jumlah tersebut memang menimbulkan keresahan di masyarakat?,” kata Beni.

Terkait Napi yang berulah, Beni juga menegaskan bahwa Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) telah mengatakan bahwa bagi Napi yang telah dibebaskan dan nantinya berulah kembali, akan dikenakan sanksi dan hukuman yang lebih berat.

Senada dengan Beni, Arip Yogiawan menilai, pembebasan Napi yang dianggap meresahkan masyarakat menurutnya hanyalah isu dan framing semata. Menurutnya, potensi kriminalitas bisa menimpa siapa saja, tak hanya menitikberatkan pada Napi semata.

Lebih lanjut, menurut Yogi, situasi masyarakat saat ini adalah wabah Covid-19 yang menjadi pukulan pertamn. Pukulan kedua adalah terkait tentang permasalahan ekonomi yang nantinya akan berdampak pada faktor yang menimbulkan kriminalitas karena sebab kehilangan pekerjaan, usaha susah, bahan makanan sulit.

“Potensi kriminalitas bisa siapa saja bukan hanya menitikberatkan pada Napi,” jelas Yogi.

Berita Terkait :  Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta mengadakan Webinar Series Hukum Internasional Peluang dan Tantangan Armada Nirawak bagi Kedaulatan Laut dan Udara Indonesia

Yogi juga menjelaskan seharusnya bagi Napi yang dibebaskan ada jaminan untuk diterima masyarakat. Ia juga berpesan agar jangan terlalu cepat menghakimi dan melakukan framing terkait tindakan kriminalitas di tengah pandemi saat ini.

Rivanlee Anandar juga memberikan pandangannya terkait dengan pembebasan Napi di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, data dari KontraS menyebutkan bahwa terdapat 473 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Pada 2013 – 2019 kapasitasnya naik cukup signifikan sebesat 160 ribu – 260 ribuan. Lebih lanjut, menurut Rivanlee, sebelum adanya pandemi fasilitas dalam lapas juga belum baik. Data kontras menyebutkan terdapat dua penyakit yang setidaknya menjadi penyebab narapidana di lapas, yakni leptospirosis dan tuberculocis.

Menurut Rivanlee, pemenjaraan tidak selamanya efektif. Menurutnya, jika tindak pidana yang tidak ada kekerasan, dan menimbulkan korban, apakah harus dipidana serta perlu adanya petimbangan hukum.  Selain itu, menurut Rivanlee juga terdapat semangat punishing people dari aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus pidana Indonesia.

“Artinya ada kasus ringan lalu dipenjara. Contohnya kriminalisasi bagi petani karena adanya privatisasi korporasi. Hal hal itu akan menjadi over crowded di lapas,” kata Rivanlee.

Lebih lanjut, Rivanlee mengatakan bahwa kemungkinan untuk mengulangi kejahatan Kembali saat dibebaskan nantinya akan lebih kecil dari data 0.07% dengan syarat risk assessment harus berjalan dengan baik oleh Kemenkumham. Menurutnya Pemerintah juga harus memprioritaskan siapa saja yang harus diberikan asimilasi ketika pandemi Covid-19. Seperti kelompok Napi yang umurnya lebih dari 65 tahun, punya penyakit bawaan, ibu hamil atau sedang memiliki anak, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan kekerasan.

Apakah kebijakan pembebasan Napi sudah menjalankan risk assessment, pengawasan. dan pembinaan terhadap Napi sudah berjalan baik atau malah kebijakan ini menjadi simalakama bagi pemerintah,” kata Rivanlee.

Share

Contact Us

× Ada yang bisa dibantu?